Iklan

Iklan

,

Iklan

Konsepsi Darul Ahdi wa Syahadah Menuntut Muhammadiyah Menjaga Kemurnian Pancasila

Redaksi
Kamis, 15 Desember 2022, 11:26 WIB Last Updated 2022-12-15T04:26:32Z


JAKARTA
– Posisi Muhammadiyah terhadap Indonesia sebagai Negara Pancasila dibakukan dalam dokumen resmi Darul Ahdi wa Syahadah hasil Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar tahun 2015.


Menurut Rektor Universitas Muhammadiyah Riau (UMRI), Dr. H. Saidul Amin, M.A, dokumen itu adalah pernyataan final bahwa bentuk negara Indonesia tidak boleh diganggu gugat lagi.


“Artinya NKRI ini harga mati. Kita berjanji sama-sama membangun negeri tercinta ini. Kalau melompat kita sama-sama patah. Kalau bersembunyi kita sama-sama hilang, ada sama-sama kita makan, ndak ada sama-sama kita cari, terlentang kita sama-sama makan angin, tertelungkup kita sama-sama makan tanah. Itulah resiko ketika kita menyatakan Darul Ahdi wa Syahadah. Ya ayuhalladziina amanu aufu bil ‘uqud,” ucapnya mengutip potongan Surat Al-Maidah ayat 1.


Dalam Dialektika TvMu, Sabtu (10/12/2022), Saidul Amin menegaskan bahwa dalam dokumen itu, Muhammadiyah akan setia mengawal kemurnian Pancasila dan menjaganya dari berbagai aksi yang mereduksi nilai-nilai di dalamnya, termasuk aksi seperti rezimisasi agama.


“Tapi bagi kita warga Muhammadiyah jangan menonton, kita harus syahadah. Betul-betul jadi subjek, bukan objek dalam membangun negara ini. Bagi saya agama itu pasti membawa kesejahteraan dan keamanan. Apalagi kalau kita bicara agama dalam Masailul Khamsah Muhammadiyah,” imbuhnya.


Karena itu, isu rezimentasi agama menurut Saidul Amin perlu dicegah. Sebab selain mereduksi Pancasila sebagai konsensus bangsa Indonesia, kata dia tidak ada jaminan bahwa rezimentasi agama akan menjamin keamanan bagi kelompok dan aliran agama yang berbeda.


Saidul Amin lantas mengutip bagaimana peristiwa Mihnah dalam sejarah Islam menunjukkan kekhawatiran terhadap rezimentasi agama itu. Mu’tazilah yang dikenal kelompok paling rasional dalam Islam, kata dia menjadi irasional ketika berkuasa. Bahkan memenjarakan Imam Abu Hanifah karena memiliki faham yang berbeda.


“Jadi orang yang paling rasional ketika memegang kekuasaan itu bisa irasional. Maka kadang-kadang partai yang paling teriak demokrasi, ketika memegang kekuasaan justru menjadi partai yang sangat otoriter dan bertolak belakang dengan nilai-nilai demokrasi yang mereka gaungkan,” pungkasnya. ***

Iklan