Oleh: Triantoro Safaria, S Psi. M.Si. PhD, Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
JAKARTA - Universitas merupakan pusat dari creation, preservation and dissemination of knowledge. Maknanya pertama, sebuah universitas harus menjadi tempat mengembangkan ilmu pengetahuan, termasuk didalamnya menghasilkan teori-teori baru, inovasi-inovasi teknologi dan kemanusiaan.
Kedua, sebuah universitas menjadi tempat penyemaian dan pelestarian ilmu pengetahuan melalui diantaranya menghasilkan sarjana-sarjana yang mumpuni, yang mampu mengembangkan dan melestarikan tradisi ilmiah di lingkungannya.
Ketiga, sebuah universitas harus menjadi tempat pertukaran dan penyebaran ilmu pengetahuan. Hal ini dicapai melalui kegiatan penelitian dan pengajaran, diskusi ilmiah, seminar, publikasi ilmiah dan konferensi. Sehingga ketiga filosofi diatas perlu menjadi dasar dari eksistensi dan menjadi tujuan tertinggi sebuah universitas dan sivitas akademik di dalamnya.
Namun kenyataannya sungguh berbeda. Ketiga filosofi di atas masih menjadi hal yang sulit untuk diwujudkan secara optimal dan berkesinambungan. Berbagai hambatan dan rintangan masih mengajal banyak universitas negeri maupuan swasta, untuk mencapai impian menjadi universitas riset.
Kendala pertama adalah sikap dan kebijakan pemerintah sendiri yang masih setengah hati mendukung kemajuan pendidikan di Indonesia. Kebijakan pengurangan subisidi penuh dan bantuan penuh bagi univeristas negeri merupakan salah satu contoh sikap setengah hati ini.
Efek dari kebijakan ini adalah banyak PTN dipaksa untuk menjadi setengah swasta, yang harus mencukupi dirinya sendiri dalam hal pengelolaan keuangan. Akibatnya PTN-PTN besar mencari kekurangan dana ini melalui SPP yang mahal, sumbangan gedung dan istilah lainnya.
Hal ini kemudian menyebabkan mahasiswa harus membayar mahal biaya kuliahnya, dan efek ini berimbas pada calon mahasiswa dari ekonomi bawah yang terpaksa tidak melanjutkan kuliah karena tidak mampu memenuhi tuntutan keuangan yang ada.
Sebagai salah satu contoh adalah bagaimana pemerintah Malaysia memberikan dana penelitian yang besar bagi universitas negeri yang dipromosikan masuk dalam universitas riset. Dana ini diberikan dalam kurun waktu tiga tahun yang nantinya akan dievaluasi secara berkelanjutan.
Sepanjang tiga tahun tersebut pada tahun pertama mendapat sekitar 65 juta ringgit (Rp. 180 milyar); tahun kedua dan ketiga meningkat menjadi sekitar 100 juta (sekitar Rp 280 milyar). Dana sebesar ini akan difokuskan pada kegiatan riset dan beasiswa riset.
Jika dalam satu universitas yang mempunyai dosen yang layak meneliti sebanyak 1000 orang, maka setiap dosen akan memiliki dana riset yang siap digunakan dalam jangka waktu satu tahun sebesar 65 ribu ringgit (Rp. 182 juta)(Bambang Sumintono, 2011).
Kendala kedua, akibat kucuran dana pemerintah yang tidak mencukupi, maka banyak fasilitas penelitian dan laboratorium yang kurang memadai untuk kegiatan riset. Sehingga hal ini menjadi hambatan besar bagi peneliti berbakat untuk mengembangkan risetnya.
Kalau kita melihat sejarah ilmuwan-ilmuwan yang mendapatkan hadiah nobel, ternyata kebanyakan mereka bekerja pada sebuah lembaga riset ternama, yang memiliki semua fasilitas yang dibutuhkan untuk mengembangkan risetnya. Sebagai contoh Prof. Osamu Shimomura yang berhasil menemukan dan mengembangkan green fluorescent protein.
Shimomura melakukan risetnya di Marine Biological Laboratory, dan Boston University Medical School, Massachusetts, Amerika. Artinya sebuah riset yang berkualitas tidak akan bisa dihasilkan, ketika peneliti tidak memiliki laboratorium yang memadai untuk mengembangkan risetnya.
Kendala ketiga, banyak staf akademik atau peneliti di Indonesia yang waktunya habis untuk mengajar, atau mencari tambahan penghasilan, akibat gaji yang tidak memadai, dan juga sebagai akibat jumlah SDM yang terbatas di sebuah universitas.
Hal ini kemudian mengakibatkan kegiatan riset tidak berjalan secara berkesinambungan. Riset hanya dilakukan sekedar untuk memenuhi point kenaikan pangkat sebagai dosen atau peneliti. Bahkan beberapa dana riset dikorupsi, dan digunakan untuk tujuan memperkaya diri.
Hal ini menjadi sebuah ironi tersendiri jika mengingat dana penelitian harusnya digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Hasilnya akhirnya, riset yang dilakukan bukan merupakan riset berkualitas untuk menjawab gap of knowledge¸ tetapi sekedar riset kecil-kecilan yang kurang memiliki impact factor tinggi.
Kendala keempat, ternyata banyak pula staf akademik yang memiliki keterampilan dan pengetahuan yang kurang memadai untuk meneliti atau mempublikasikan hasil penelitiannya. Akibatnya karya ilmiah mereka tidak dapat menembus jurnal-jurnal berkaliber internasional (ISI Thomson/Scopus) karena tidak mampu menghasilkan sebuah karya ilmiah yang berkualitas.
Rendahnya minat dan kemampuan menulis ini dapat terlihat dari masih sedikitnya karya ilmiah para staf akademik ini terpublikasi di jurnal-jurnal ilmiah, baik nasional maupun internasional. Bahkan dalam satu tahun, belum tentu mereka menghasilkan karya ilmiah yang bermutu, sehingga dapat terpublikasi di jurnal nasional terakreditasi.
Kenyataan ini juga menjadi ironi tersendiri dalam komunitas ilmiah di banyak perguruan tinggi di Indonesia. Sehingga universitas riset, saat ini tampaknya masih menjadi sebuah utopia yang nyata di Indonesia. ***