Iklan

Iklan

,

Iklan

Masyarakat Islam yang Sebenar-benarnya Perspektif Muhammadiyah

Redaksi
Jumat, 24 Februari 2023, 16:53 WIB Last Updated 2023-02-24T09:53:46Z


Oleh: Drs. Dikdik Dahlan Lukman, M.Hum


CIREBON - Muhammadiyah tidak pernah bercita cita mendirikan negara Islam. Maksud dan Tujuan pendirian Muhammadiyah adalah menegakan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Pernyataan ini tertulis dalam anggaran dasar Muhammadiyah Bab III pasal 6 tentang maksud dan tujuan. 


Menyertai uraian tentang identitas masyarakat yang dicita-citakan itu, dalam rumusan dasar-dasar gerakan Muhammadiyah muncul juga istilah Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur yang biasa diterjemahkan sebagai negeri yang baik sedangkan (tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun.


Potongan ayat al Qur‟an surat Saba’ ayat ke 15 ini dapat dijumpai pada Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah maupun pada Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup (MKCH) Muhammadiyah. Para mufasir al-Qur‟an menjelaskan bahwa Baldatun thayyibatun wa rabbun Ghafur disingkat baldah thayyibah adalah gambaran tentang negeri Saba’ yang pernah mencapai puncak kemakmuran dan kesejahteraan.


Saba’ adalah nama sebuah negara yang memiliki wilayah teritorial, sistem pemerintahan, bahkan pasukan militer lengkap.Ar-Raghib al-Ashfahani menjelaskan bahwa kata balad dipergunakan untuk menunjukan suatu tempat atau teritorial yang ditetapkan secara jelas batas-batasnya, dikenal (berdaulat), dan penduduknya menetap di wilayah tersebut.


Maksud dan Tujuan Muhammadiyah


Pada organisasi lain, untuk menggambarkan sasaran akhir dari yang dicita-citakan, biasanya mempergunakan istilah tujuan. Di dalam anggaran dasarnya, Muhammadiyah memakai istilah maksud dan tujuan. Kata maksud dan tujuan, keduanya memiliki arti yang berbeda antara satu dengan lainnya.


Kata maksud, bisa memiliki arti yang dikehendaki, niat atau juga arti itu sendiri. Sedangkan Tujuan adalah arah; haluan atau yang dituju, sehingga menyebutkan kata maksud dan kata tujuan yang terrangkai dalam satu kalimat menggambarkan tentang segala aktivitas, langkah dan gerakan yang kesemuanya itu difokuskan ke satu arah yang dituju sebagai pelabuhan terakhir.


Masyarakat Islam sebagai Tujuan Muhammadiyah


Rumusan Masyarakat Islam sebagai penggalan kalimat dalam rumusan utuh tujuan Muhammadiyah mulai masuk dan ditetapkan secara resmi pada Muktamar ke 31 tahun 1950. Pada pasal 2 Anggaran Dasar Muhammadiyah hasil perubahan dalam Muktamar ke 31 tahun 1950 itu disebutkan bahwa Maksud Persyarikatan ini akan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.


Dalam pandangan Ahmad Shalaby, terdapat sepuluh ciri yang melekat pada Masyarakat Islam, yaitu: 1). dari mata pedang ke jalan damai, 2) dari kekuatan ke undang-undang, 3) dari balas dendam ke pampasan (hukum Qishash) 4) dari serba halal ke kesucian, 5) dari sifat suka merampas ke kepercayaan, 6) dari sifat suka mengasingkan diri ke arah dapat menguasai negeri Persia dan Rumawi, 7) dari kehidupan kesukuan berganti dengan sifat rasa tanggung jawab pribadi, 8) dari penyembahan berhala ke akidah tauhid, (9) dari memandang rendah kaum wanita menjadi memuliakannya, dan 10) dari sistim berkasta-kasta ke persamaan.


Masyarakat seperti ini menurut Shalaby pernah menjelma pada masyarakat yang dibentuk dan dibina Rasulullah setelah hijrah dari kota Makkah ke Madinah. Ahmad Azhar Basyir memiliki pandangan bahwa Masyarakat Islam dibangun dengan 1) menjunjung tinggi nilai kehormatan manusia, 2) memupuk rasa persatuan dan kekeluargaan manusia, 3) mewujudkan kerjasama umat manusia, menuju terciptanya masyarakat sejahtera lahir batin, 4) memupuk jiwa toleransi, 5) menghormati kebebasan orang lain, 6) menegakkan budi baik, 7) menegakkan keadilan, 8) izin perlakuan sama, 9) memenuhi janji, dan 10) menanamkan kasih sayang dan mencegah kerusakan”17


Menurut A. Wahab Radjab, masyarakat Islam itu memiliki tiga kriteria utama, yaitu ke-Tauhid-an/keimanan yang murni, akhlak yang mulia dari anggota masyarakatnya, disamping dibina dan diikat dalam paduan persaudaraan, persamaan, kasih sayang, serta tenggang rasa (tasamuh) antara warganya, demikian juga hak asasi manusia dijunjung tinggi18. Djarnawi Hadikusumo sangat simpel sekali memberikan penjelasan tentang masyarakat Islam. 


Menurutnya, masyarakat Islam adalah masyarakat yang memberlakukan dan menjunjung tinggi hukum Islam di atas hukum-hukum lainnya.


Kriteria, batasan maupun identitas masyarakat Islam sebagaimana  dikemukakan empat orang tokoh di atas, murni pendapat pribadi masing- masing. Pernyataan mereka tidak mewakili institusi atau organisasi, termasuk  apa yang dikemukakan Azhar Basyir maupun Djarnawi Hadikusomo yang keduanya dikenal tokoh Muhammadiyah.


Sejak pertama kali muncul, kemudian berubah menjadi masyarakat utama (1985) dan berganti kembali pada Muktamar ke 44 di Jakarta (2000) menjadi masyarakat Islam,  Muhammadiyah secara institusi belum memiliki batasan atau ciri-ciri pasti masayarakat Islam yang disepakati apalagi tertuang dalam sebuah surat keputusan resmi organisasi. Batasan atau penjelasan lengkap tentang masyarakat Islam yang kemudian tertuang dalam sebuah keputusan resmi organisasi baru muncul dalam Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua (zhawahir al-afkar al- muhammadiyah li al-qarni al-tsani) yang merupakan butir ke III keputusan Muktamar Muhammadiyah ke 46 yang diselenggarakan pada tanggal 3 – 8 Juli 2010 di Kota kelahirannya, Yogyakarta. 


Pada point ke III dari Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua, terutama pada alinea ke 9 dan 10 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat Islam adalah: “... suatu masyarakat yang di dalamnya ajaran Islam berlaku dan menjiwai seluruh bidang kehidupan yang dicirikan oleh ber-Tuhan dan beragama, berpersaudaraan, berakhlak dan beradab, berhukum syar‟i, berkesejahteraan, bermusyawarah, berihsan, berkemajuan, berkepemimpinan dan berketertiban. Dengan demikian masyarakat Islam menampilkan corak yang bersifat tengahan, yang melahirkan format kebudayaan dan peradaban yang berkeseimbangan. Masayarakat Islam yang dicita-citakan Muhammadiyah memiliki kesamaan karakter dengan masyarakat madani (civil-society) yang maju, adil,  makmur, demokrasi, mandiri, bermartabat, berdaulat, dan berakhlak-mulia (al-akhlaq al-karimah) yang dijiwai nilai-nilai ilahiyah. Masyarakat Islam sebagai  kekuatan madaniyah (masyarakat madani) menjunjung tinggi kemajemukan agama dan pemihakan terdahap kepentingan seluruh elemen masyarakat, perdamaian dan nir- kekerasan, serta menjadi tenda besar bagi golongan dan kelompok masyarakat tanpa diskriminasi. Masyarakat Islam yang dicita-citakan Muhammadiyah merupakan masyarakat yang terbaik yang mampu melahirkan peradaban yang utama sebagai alternatif yang membawa pencerahan hidup umat manusia di tengah pergulatan zaman.


Masyarakat Islam dalam rumusan maksud dan tujuan Muhammadiyah dirangkai dengan ungkapan yang sebenar-benarnya. Hal ini untuk memberikan penekanan dan penegasan yang menunjukan kuat dan pentingnya sesuatu itu, seperti firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 101 yang memerintahkan bertaqwa dengan taqwa yang sebenar-benarnya. 


Farid Ma‟ruf, sebagaimana dikutif oleh Haedar juga menyatakan bahwa “yang sebenar-benarnya” sangat diperlukan karena banyak masyarakat yang beragama Islam tapi tidak menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam apalagi berusaha dengan  segala tenaga dan kesempatannya untuk memberlakukan ketentuan ajaran Islam. Ungkapan “yang sebenar-benarnya” juga guna menghindari pelaksanaan dan pemberlakuan ajaran Islam secara sempit dan parsial sehingga masyarakat atau negara yang dilahirkannya pun masyarakat atau negara Islam masa lampau, yang jauh dari pesan hakiki ajarannya.


Konsep Baldah Thayyibah


Ungkapan baldatun toyyibatun wa Rabbun ghafur sudah masyhur diucapkan, termasuk oleh bangsa Indonesia. Ini adalah rangkaian kalimat dalam bahasa Arab yang merupakan penggalan ayat al Qur’an pada surat Saba‟ ayat ke 15. Ungkapan ini dipergunakan untuk menunjukan sebuah kondisi ideal kehidupan berbangsa dan bernegara.


Bagi umat Islam, tatanan masyarakat atau negeri ideal seperti yang ditunjukan dengan ungkapan baldatun toyyibatun wa Rabbun Ghafur dan kemudian dijadikan model dan teladan terbaik adalah tatatanan masyarakat yang dibentuk dan dibina oleh Rasulullah SAW. Muhammad SAW adalah sosok uswah hasanah, baik dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, maupun bermasyarakat. Tatanan masyarakat yang dibangun Rasulullah secara mandiri, tanpa intervensi dan berdasar petunjuk Allah adalah tatanan masyarakat yang dibinanya setelah hijrah dari kota Mekkah ke Medinah. Dalam membangun dan membina kehidupan bermasyarakat di kota Medinah yang majemuk itu Rasulullah berpijak kepada konsesus yang dibangun melalui piagam medinah. 


Nampaknya, pergerakan di kalangan ummat Islam, sampai detik ini masih terbagi sedikitnya kepada dua golongan. Gerakan pertama diarahkan kepada pembentukan masyarakat yang dicita-citakan (Islamic Society), adapun yang kedua, tujuan akhirnya adalah pembentukan negara (Islamic state). Di tengah masyarakat Indonesia sendiri sedikitnya dapat dibedakan kepada empat kelompok. 


Pertama, golongan yang menghendaki Islam dijadikan sebagai dasar negara. Kedua, kelompok yang menghendaki dibentuk negara Islam (Dar al-Islam). Ketiga, kelompok yang menghendaki terbangunnya system khilafah. Keempat, golongan yang tetap menghendaki sesuai dengan konsesus nasional. Kelompok keempat merupakan kelompok yang sampai saat ini diterima dan berjalan sekalipun bukan berarti tiga kelompok lainnya mati. 


Kejadian peledakan bom–bom bunuh diri, baik yang dilakukan di pusat keramaian atau di tempat-tempat tertentu yang dianggap asset musuh (kafir Harb) adalah bukti yang tidak terbantahkan kalau kelompok-kelompok itu masih melakukan regenerasi, menyusun kekuatan dan melakukan pergerakan.


Sepanjang perjalanannya, Muhammadiyah tidak pernah melibatkan diri dalam gerakan inkonstitusional, baik memisahkan diri atau mendirikan negara baru. Muhammadiyah selalu menempatkan diri sebagai mitra pemerintah, bersikap akomodatif tapi tetap kritis. Sepanjang perjalanannya, Muhammadiyah turut aktif bergerak membina, melayani dan membangun masyarakat sesuai ajaran Islam. Muhammadiyah menyebut masyarakat Islam yang sebenar-benarnya sebagai tujuan akhir semua aktifitas dan gerakan organisasi.


Istilah masyarakat berbeda dengan negara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, negara didefinisikan sebagai kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya. 


Sedikit lebih detail, Hendry C Black mendefinisikan Negara sebagai sekumpulan orang yang secara permanen menempati suatu wilayah yang tetap diikat oleh ketentuan-ketentuan hukum yang melalui pemerintahannya mampu menjalankan kedaulatannya yang merdeka dan mengawasi masyarakatnya dan harta bendanya dalam wilayah perbatasannya, mampu mengadakan perang dan damai serta mampu mengadakan hubungan internasional dengan masyarakat internasional lainnya. 


Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, komponen pokok sebuah  negara sekurang-kurangnya harus memenuhi adanya wilayah dengan batas-batas yang jelas, penduduk yang menetap di wilayah tersebut, pemerintahan yang efektif dan pengakuan internasional. Hal ini sejalan dengan isi pasal 1 konvensi Montevideo 27 December 1933 yang menyebutkan bahwa Negara sebagai subjek dalam hukum internasional harus memiliki empat unsur yaitu: penduduk yang tetap, wilayah tertentu, pemerintahan yang berdaulat dan kapasitas untuk berhubungan dengan negara lain.


Dalam bahasa Arab, ada beberapa istilah yang sering dikaitkan dengan konsep negara, diantaranya adalah kata al-balad,  al- Qaryah, dan ad-Dar. Di dalam literatur sejarah peradaban Islam, selain tiga kata tadi, dikenal juga istilah daulah yang juga menunjuk kepada pengertian negara. Dengan merujuk kepada ayat ke 10 surat Ali Imran, penggunaan istilah daulah sejatinya memiliki makna bahwa dinamika sebuah negara tidak bisa keluar dari sunatullah, yakni tumbuh, berkembang, mencapai puncak, dan tumbang. Demikian juga kelompok yang berkuasa (pemerintah) dalam suatu negara, patah- tumbuh, hilang berganti. Dalam sejarah peradaban Islam, dikenal Daulah Bani Umayyah, Daulah Bani Abbasiyyah, Daulah Fatimiyyah dan lain sebagainya.


Baldah thayyibah adalah gambaran ideal cita-cita berbangsa dan bernegara yang diperkenalkan oleh Al-Qur'an. Gambaran ideal seperti ini pula yang dicita-citakan oleh Muhammadiyah yang dirumuskannya dalam ungkapan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Rumusan Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya adalah merupakan penerjemahan atau pengejawantahan sekaligus menunjukan usaha terrencana dan sistematiis yang dilakukan Muhammadiyah dalam mewujudkan baldah thayyibah. 


Dalam pandangan Muhammadiyah, yang dimaksud baldah thayyibah dalam berbagai rumusan yang dibuat persyarikatan Muhammadiyah itu, tiada lain adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 


Berdasarkan temuan-temuan rumusan resmi persyarikatan Muhammadiyah tersebut jelas menunjukan bahwa Muhammadiyah fokus pada cita-cita membangun masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dalam wadah negara kesatuan republik Indonesia. Kalaupun istilah baldah thayyibah dimunculkan pula dalam berbagai rumusan, yang dimaksud semata-mata adalah negara Indonesia. 


Tidak ada maksud mendirikan negara baru. Muhammadiyah berpandangan bahwa pendirian atau pembentukan sebuah negara adalah ranah ijtihadiyah, bagian dari pilihan dalam mewujudkan cita-cita Islam, bukan perintah yang bersifat qath‟i atau pasti. Dalam khittah Ponorogo tahun 1969 dan dikuatkan pula dalam khittah Denpasar tahun 2002,


Muhammadiyah secara tegas menyatakan bahwa politik adalah bagian dari al-umur al-dunyawiyyat (urusan keduniawian). Pandangan inilah yang  menguatkan keyakinan Muhammadiyah untuk mengajak seluruh lapisan masyarakat mewujudkan Indonesia sebagai baldah thayyibah.***

Iklan