Demikian disampaikan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menjadi khatib dalam sidang jumat di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta pada Jumat (5/5/2023). Selain spiritual recreation, Syawal juga dapat disebut sebagai spiritual reunion.
“Bulan di mana kita memperkuat ikatan kekeluargaan, memperkuat ikatan kemasyarakatan, dan kemudian berkembang tradisi Syawalan, di mana dengan tradisi itu kita saling bersilaturahmi untuk memperkuat ikatan kekeluargaan, keislaman, dan kebangsaan,” terang Mu’ti.
Syawal
merupakan bulan silaturahmi kepada sanak keluarga, sahabat dan kerabat, dan segenap masyarakat. Tradisi ini merupakan kultur Islam yang paling positif karena dapat menciptakan kohesi dan solidaritas sosial.
Hal ini merupakan pengamalan dari sebuah Sabda Nabi Saw yang berbunyi: “Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka sambunglah (tali) kerabatnya.” (HR. Bukhari).
Berdasarkan hadis tersebut, menurut Mu’ti, rizki yang lapang merupakan indikasi dari manusia yang bahagia dalam kehidupan dunia. Sementara makna ‘atsar’ atau (dipanjangkan) umur memiliki dua makna: pertama, mendapat umur yang relatif panjang dibanding manusia pada umumnya (lebih dari 70 tahun); kedua, memiliki legasi yang dapat dikenang hingga berabad-abad kemudian, misalnya, pendiri Muhammadiyah Kiai Ahmad Dahlan.
“Kiai Haji Ahmad Dahlan itu wafat di usia 55 tahun, tetapi jejak dan jasa yang beliau tinggalkan sampai sekarang masih kita ikuti bahkan terus berkembang, karena beliau selama hidupnya senantiasa beramal dan bersilaturahmi,” tutur Mu’ti.
Mu’ti kemjudian menjelaskan bahwa silaturahmi sesungguhnya menyambung sesuatu yang telah terputus. Dengan silaturahmi, umat Islam dapat mencari relasi sosial yang sebaik-baiknya dan sebanyaknya-banyaknya.
Banyaknya teman, kerabat, dan sahabat dapat meningkatkan peluang kebahagiaan baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Silaturahmi akan tambah sempurna jika diiringi dengan gemar melakukan sedekah.
“Tidak hanya sekadar berkomunikasi, tetapi saling memberi dan bersedakah. Harta yang kita infakkan di jalan Allah merupakan legasi kita, walaupun kita sudah meninggal dunia, harta itu akan menjadi jariah yang pahalanya senantiasa mengalir. Infak adalah legasi yang bukan hanya baik di hadapan manusia, tetapi juga di hadapan Allah,” pungkas Mu’ti. ***