JAKARTA – Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) sejatinya dapat memudahkan kaum muslimin untuk menyempurnakan ibadah, baik yang mahdhah maupun yang sunah. Salah satu contohnya adalah digunakannya ilmu hisab untuk menentukan waktu-waktu salat.
Meskipun dalam Alquran dan Sunnah, cara menentukan waktu salat 5 waktu adalah dengan melihat posisi matahari, bayangannya pada benda, atau keadaan cahaya di langit, namun adaptasi Iptek itu tidak serta merta tertolak.
Keniscayaan mengadaptasi iptek dalam ibadah menurut Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti dilakukan karena relativitas dan keterbatasan indera manusia.
Di belahan bumi yang tidak dilewati garis khatulistiwa, maka posisi matahari bisa menipu. Apalagi saat mengalami musim panas yang mana matahari masih nampak meski waktu isya’ telah tiba.
Karenanya, adaptasi iptek dan ilmu hisab menurutnya menjadi niscaya dan mafhum dibandingkan dengan mengikuti apa yang diklaim sebagai ‘Sunnah’ Nabi seperti melihat posisi matahari dengan mata telanjang.
“Dari situ saja sudah relatif, lalu orang sekarang menggunakan ilmu hisab untuk menyusun kalender dan waktu-waktu salat, sehingga saya yakin Bapak Ibu sekarang tidak ada lagi yang untuk menetapkan waktu zuhur lalu pergi ke halaman UMJ dan membandingkan bayangan matahari. Tidak ada lagi seperti itu,” jelasnya.
Dalam Hari Bermuhammadiyah di UMJ, Rabu (10/5/2023), Mu’ti menegaskan bahwa mengadaptasi iptek adalah bagian dari upaya mengamalkan ayat Alquran dan hadis-hadis Nabi.
Penggunaan ilmu hisab sendiri untuk menetapkan waktu-waktu salat dan penyusunan kalender menurutnya bukanlah bidah. Melainkan interpretasi dari Surat Yunus ayat 5 yang secara implisit memerintahkan kaum muslimin untuk mengembangkan ilmu hisab, termasuk penyusunan kalender.
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.”
“Karena itu kalau ada yang mengatakan hisab itu bidah, itu tidak tepat karena yang dilakukan Nabi itu (rukyat) bukan merupakan sunnah, tapi amaliyah karena teknologinya belum dikuasai, karena ilmunya belum dimiliki,” tegas Mu’ti.
Dirinya menegaskan bahwa adaptasi iptek menjadi prasyarat agar kaum muslimin dapat beribadah dengan sempurna. Anggapan bahwa hisab tidak sesuai sunnah pun menurutnya juga tidak relevan. Mu’ti juga menjelaskan bahwa tidak semua yang dilakukan Nabi Muhammad Saw adalah sunnah yang mesti diikuti tanpa menelaah konteks zamannya.
“Oleh karena itu ketika Nabi Muhammad Saw ibadah haji naik unta, itu sunnah atau cara saja untuk sampai ke Makkah? Kalau (ngotot) mau ikut (cara yang dianggap sunnah) Nabi, silahkanlah berangkat haji dari Jakarta ini naik unta,” imbuhnya berkelakar. ***(afn)