Iklan

Iklan

,

Iklan

Pendidikan Inklusivitas: Islam Hargai Pilihan Iman Setiap Orang!

Redaksi
Kamis, 04 Mei 2023, 12:54 WIB Last Updated 2023-05-04T06:04:04Z


JAKARTA
— Salah satu hal mendasar dalam isu Hak Asasi Manusia (HAM) adalah kebebasan beragama atau kebebasan berkeyakinan.


Kebebasan beragama dapat diartikan dalam dua percabangan, yakni bebas beragama tertentu (termasuk memeluk aliran kepercayaan adat) atau bebas dari agama tertentu (agnotisisme/ateisme).


Bagi umat Islam, menghadapi isu kebebasan beragama seharusnya bukanlah permasalahan sensitif, sebab agama Islam sangat inklusif terhadap perbedaan dan kebebasan manusia dalam berkeyakinan atau beragama. Demikian jelas Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Muti.


Dalam konferensi internasional Institut Leimena terkait “Isu HAM dan Pendidikan Agama” di FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu (3/5/2023), Muti lantas mengutip ayat 29 Surat Al-Kahfi, yang artinya,


“Dan katakanlah (Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir. Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang zalim, yang gejolaknya mengepung mereka.”


Menurut Muti, ayat ini menjadi pedoman dalam menghadapi perbedaan keyakinan terhadap isu kebebasan beragama. Dalam konteks pendidikan agama, ayat ini kata dia juga dapat dijadikan acuan dalam menanamkan nilai inklusivitas sekaligus penguat dari model pendidikan agama yang ada.


Di berbagai negara, pendidikan agama diajarkan lewat model yang berbeda. Ada yang sekadar memahamkan anak didik bahwa agama adalah fenomena sosial untuk membentuk masyarakat harmonis, atau ada yang mengajarkan agama agar diresapi dalam kepribadian sehari-hari.


Dari berbagai model pendidikan agama yang ada, sistem pendidikan nasional di Indonesia menurut Abdul Muti adalah model yang paling ideal dan futuristik, yaitu pendidikan yang membentuk anak didik agar menjadi insan yang saleh, beriman dan bertakwa.


Apalagi, pendidikan nasional memberikan jaminan bagi seorang penganut agama berbeda untuk diberikan pendidikan agama lewat guru yang seagama atau seiman.


Namun hal tersebut tidak cukup. Dalam upaya mendorong pemahaman inklusif terhadap kebebasan beragama, Muti menganggap perlunya anak didik untuk saling mempelajari konsep-konsep agama dari siswa pemeluk keyakinan berbeda secara tematik.


Dengan demikian, ketika mereka faham terhadap konsep yang berbeda, maka mereka bisa saling memahami dan menghargai. ***(afn)

Iklan