JAKARTA - Menjelang Muktamar Muhammadiyah ke-47, 3-7 Agustus 2015 di Makassar, Sulawesi Selatan, alumni organisasi otonom Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) seperti Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah (NA), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) melakukan konsolidasi internal di organisasinya masing-masing.
Bahkan IMM, melalui Forum Keluarga Alumni (Fokal), menggelar Silaturrahmi Nasional yang selain menghasilkan kepengurusan baru, juga antara lain mengeluarkan rekomendasi untuk bergerak secara independen di luar struktur Muhammadiyah.
Kalau dicermati, geliat alumni AMM ini bukan semata karena menjelang Muktamar. Lebih dari itu, karena ada kegelisahan yang merata di kalangan aktivis muda Muhammadiyah.
Pertama, kegelisahan tentang eksistensi dan peranan Muhammadiyah yang semakin dianggap kurang diperhitungkan di pentas nasional. Anggapan sumir yang masih bisa diperdebatkan, walaupun nyata benar jika parameternya dilihat dari tingkat keterpengaruhan politik di pentas nasional.
Gerakan jihad konstitusi yang degerakkan Muhammadiyah belakangan ini, satu sisi menunjukkan peranan yang sangat konstruktif bagi Muhammadiyah di arena politik kebangsaan.
Akan tetapi di sisi lain, bisa menjadi bukti otentik bahwa Muhammadiyah semakin ditinggalkan dalam proses penyusunan dan penetapan undang-undang (legislasi). Banyaknya undang-undang yang tidak sesuai dengan aspirasi Muhammadiyah membuktikan bahwa organisasi Islam yang memiliki ratusan lembaga pendidikan dan rumah sakit ini aspirasinya terabaikan dalam proses legislasi.
Kedua, kegelisahan yang disebabkan karena sulitnya kader-kader muda Muhammadiyah melakukan mobilisasi gerakan struktural untuk mengisi lembaga-lembaga negara dan atau jabatan-jabatan strategis di birokrasi pemerintahan.
Kesulitan ini, antara lain disebabkan karena secara kelembagaan Muhammadiyah tidak ikut ambil bagian secara sistematis dalam mengalokasikan kader-kadernya untuk duduk di lembaga-lembaga strategis sesuai keinginan dan kemampuannya. Sebagai contoh, alih-alih memberikan dorongan, Muhammadiyah mengeluarkan surat keputusan pemberhentian kader-kadernya yang terjun di dunia politik.
Jadi, kalau pun ada beberapa kader Muhammadiyah yang berhasil menduduki jabatan-jabatan strategis, lebih disebabkan karena kegigihan usahanya sendiri secara individual untuk meraih jabatan itu ketimbang sebagai upaya sistematis dari Muhammadiyah secara kelembagaan untuk mentransformasikan kader-kader potensialnya di arena kebangsaan.
Ketiga, kegelisahan disebabkan karena tidak adanya program yang terencana dan terukur dari Muhammadiyah untuk melakukan kaderisasi di berbagai bidang. Program kaderisasi yang dilakukan Majelis Pendidikan Kader misalnya, lebih diorientasikan untuk penambahan ilmu dan wawasan layaknya pelajaran ekstra kurikuler di sekolah-sekolah.
Sedangkan program kaderisasi seperti penyediaan beasiswa bagi pelajar atau mahasiswa berprestasi untuk melanjutkan jenjang studi yang lebih tinggi dan berkualitas tampaknya belum ada. Seperti dalam meraih jabatan-jabatan strategis, kalaupun ada aktivis AMM yang berhasil mendapatkan beasiswa ke luar negeri, lebih disebabkan karena usaha sendiri.
Kegelisahan-kegelisahan inilah yang mendorong AMM melakukan konsolidasi untuk mencari jalan keluar dari persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Persoalan-persoalan yang terkait mobilitas struktural yang seyogianya bisa dicarikan jalan keluar oleh Muhammadiyah yang secara kelembagaan cukup punya kapasitas untuk melakukan itu, pada akhirnya harus dilakukan oleh para aktivis AMM sendiri.
Sejumlah agenda strategis dirancang oleh para alumni AMM untuk berkiprah secara maksimal di arena kebangsaan. Tekadnya, tanpa menunggu uluran tangan Muhammadiyah, mereka akan bergerak mengembangkan dan menyalurkan potensi dan kemampuannya untuk mengisi ruang-ruang artikulasi politik, hukum, ekonomi, dan lain-lain, di arena yang jauh lebih luas ketimbang harus berebutan mengisi jabatan-jabatan di amal usaha Muhammadiyah.
Langkah alumni AMM ini jika benar-benar mampu direalisasikan akan menimbulkan dampak positif, di samping (mungkin saja) negatif. Positif karena tumbuh kesadaran baru bahwa untuk bisa sukses meraih jabatan-jabatan strategis, sudah waktunya bagi para alumni AMM untuk bergerak bersama-sama, bahu membahu, saling menopang satu sama lain.
Ekspresi dan aspirasi politiknya bisa saja berbeda satu sama lain, tetapi kesamaan kepentingan dan kesamaan warna jaket di masa lalu akan menjadi perekat yang bisa menyatukan langkah seraya mengesampingkan ego sektoralnya masing-masing.
Namun, jika kekuatan dan soliditas alumni AMM sudah terbangun, dan mereka berhasil menduduki jabatan-jabatan strategis di berbagai lini kehidupan, maka akan terjadi eksodus kader-kader potensial Muhammadiyah. Mungkin ada yang berpikir ini bagus karena otak-otak besar Muhammadiyah akan mengisi berbagai lini kehidupan.
Dakwah Muhammadiyah akan tersebar di segala penjuru. Tapi, bayangkan jika ini terus-menerus terjadi lantas yang akan berkiprah di Muhammadiyah, di "rumah sendiri" hanyalah kader-kader kelas dua yang tidak diterima di luar, atau yang kalah "berperang" di arena terbuka. Inilah yang saya sebut negatif!
Untuk menjaga tidak terjadinya kemungkinan negatif, keseimbangan mutlak harus dijaga. Di antara kader-kader terbaik Muhammadiyah seyogianya tetap ada yang mau berkiprah (memimpin) untuk mengabdi, dan –meminjam istilah yang dipesankan KH Ahmad Dahlan—menghidup-hidupi Muhammadiyah, bukan mencari hidup dalam Muhammadiyah.
Untuk menjaga keseimbangan aktualisasi peran para alumni AMM dibutuhkan kebijakan-kebijakan kaderisasi yang kondusif untuk melahirkan kader-kader muda Muhammadiyah yang siap terjun di berbagai lini kehidupan di arena kebangsaan seraya masih bersedia mengabdi untuk memajukan Muhammadiyah. Wallahu a'lam!
Penulis: Abd Rohim Ghazali.