Iklan

Iklan

,

Iklan

Syamsul Ulum

Betulkah, Rasa Malu Harus Memenuhi Akhlak Seorang Muslim?

Redaksi
Jumat, 24 November 2023, 20:00 WIB Last Updated 2023-11-24T13:00:51Z


JAKARTA
— Rasa malu atau “hayaa” merupakan salah satu karakteristik utama yang menjadi bagian integral dari iman. Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada umatnya bahwa “hayaa” adalah bagian dari iman mereka. Hadis ini ditemukan dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, dan dipercayai oleh banyak ulama.


Rasulullah SAW bersabda, “الْحَيَاءُ مِنَ الإيمَانِ” yang dapat diterjemahkan sebagai “Rasa malu adalah bagian dari iman.” Seorang Muslim yang memiliki rasa malu yang kuat akan cenderung menghindari perilaku yang tidak pantas, tidak bermoral, atau dosa. Mereka akan merasa malu melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam serta akan berusaha untuk menjalani kehidupan sesuai dengan nilai-nilai Islam.


Rasa malu adalah sikap yang menghormati norma sosial dan nilai-nilai moral dalam Islam. Ini mencakup rasa malu terhadap Allah SWT, yang menginspirasi seseorang untuk menjauhi dosa dan melakukan perbuatan baik. Rasa malu juga mencakup rasa malu terhadap manusia, yang mendorong seseorang untuk menjaga etika dan moral dalam masyarakat serta berinteraksi dengan baik dengan orang lain.


Dalam pandangan Islam, rasa malu adalah salah satu karakteristik yang membedakan antara tindakan yang layak dan perilaku yang tidak pantas. Ini adalah hal yang dituntut dalam syariat untuk menjaga kesucian hati dan perilaku. Rasa malu memotivasi seseorang untuk melakukan perbuatan baik, menjauhi dosa, dan menjaga martabat diri serta nilai-nilai agama.


Rasa malu tidak hanya merupakan perasaan atau emosi, tetapi juga merupakan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Seorang Muslim yang memiliki rasa malu akan selalu berusaha untuk menjalani kehidupan yang mencerminkan iman dan moralitas Islam yang tinggi. Dengan menjaga rasa malu, seorang Muslim dapat memberikan teladan yang baik dalam masyarakat dan membantu memelihara integritas individu dan komunitas Muslim.


Ibnu Qayyim al-Jawziyya telah memberikan pandangan yang mendalam mengenai konsep malu dan bagaimana hal ini berkaitan dengan kehidupan dan iman. Dalam pemikirannya, ia menggambarkan malu sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dari vitalitas hati seseorang. Dalam pandangannya, kehadiran malu mencerminkan kehidupan hati yang lebih kuat, sementara kurangnya malu berhubungan erat dengan ‘kematian hati’, yaitu: keadaan di mana kepedulian terhadap nilai-nilai moral dan etika memudar.


Kata-kata bijak Umar bin Khattab, salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, menegaskan pentingnya malu dalam konteks kehati-hatian dalam beragama atau “wara’.” Jika seseorang memiliki sifat malu, maka ia cenderung lebih berhati-hati dalam menjalankan ajaran agama dan mematuhi norma-norma moral. Sebaliknya, ketika malu berkurang, hati individu dapat menjadi mati terhadap nilai-nilai tersebut. Ini mengingatkan kita pada peran penting malu dalam menjaga integritas moral dan spiritual seseorang.


Pernyataan Ibnu Mas’ud, sahabat Nabi yang bijak, memberikan pandangan lebih lanjut tentang makna malu dalam hubungan antara manusia dan Allah. Dia menekankan bahwa orang yang tidak merasa malu terhadap manusia kemungkinan besar tidak akan merasa malu terhadap Allah. Ini adalah pengingat bahwa malu adalah tanda dari penghargaan terhadap Allah dan kesadaran akan pengawasan-Nya.


Salah satu cara untuk mengembangkan sifat malu yang mulia adalah dengan selalu sadar akan kehadiran Allah yang dekat dan bersyukur atas berbagai nikmat yang diberikan-Nya. Mengetahui bahwa Allah adalah Pengawas yang dekat dan Pemberi Nikmat yang murah hati akan memotivasi seseorang untuk menjauhi perbuatan dosa dan merasa malu ketika akan menggunakan nikmat-Nya dalam cara yang tidak sesuai.


Dengan demikian, pandangan Ibnu Qayyim dan kata-kata bijak dari para sahabat Nabi menyiratkan bahwa malu bukan hanya sekadar perasaan atau sifat pribadi, tetapi juga merupakan indikator kualitas moral, spiritual, dan etika individu. Perasaan malu adalah cerminan dari hati yang hidup, sejalan dengan nilai-nilai agama, dan berfungsi sebagai penjaga moral dalam kehidupan sehari-hari. Kesadaran akan Allah dan penghargaan atas nikmat-Nya membentuk dasar bagi perkembangan sifat malu yang kuat dan mendalam dalam diri seseorang.”


Penulis: Ilham Ibrahim

Referensi: Abdullah bin Saleh al-Fauzan, “Minhat al-‘Alam fi Syarh Bulugh al-Maram, Dar Ibn al-Jawzi li al-Nashr wa al-Tawzi, 1427-1435 H, juz 10, 332.

Iklan