JAKARTA -- Kata irfani berasal dari kata “arafa –irfanan” yang secara tradisional dimaknai sebagai ma’rifah atau pengetahuan. Irfani juga dimaknai sebagai kasyf atau pengetahuan yang diraih melalui latihan bathin. Pengertiannya lebih dapat dipahami jika menyelisik kata ahlul irfan yang sering juga disamakan dengan mutashawwifin atau para ulma tashawwuf.
Pendekatan irfani secara metodologis dipraktekan dengan lebih bertumpu pada instrument pengalaman batin, zauq, qalb, wijdan, bashirah atau intuisi. Sedangkan metodenya mempraktekkan kasyf dan iktisyaf.
Dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (10/1/2024), Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Sopa berpendapat bahwa meskipun pendekatan bayani dan burhani sudah diterima di Muhammadiyah, pendekatan irfani masih berada dalam proses pencarian bentuk rumusan. Elemen-elemen keruhanian telah dipraktikkan oleh warga Muhammadiyah, tetapi dimensi spiritual masih kurang terformulasikan secara sistematis.
Polemik muncul di internal ulama Muhammadiyah, khawatir bahwa pendekatan irfani dapat mengandung unsur-unsur non-Islami. Akibatnya, kebingungan muncul terkait validitas irfani sebagai pendekatan dalam istinbat hukum. Irfani tidak mengikuti teks-teks dari otoritas dan tidak menggunakan kaidah membaca teks yang disepakati. Proses pencarian pengetahuan irfani juga tidak didasarkan pada aturan atau kaidah logika, serta tidak menggunakan data empirik.
Para ulama Muhammadiyah terus mencari pemahaman yang sejalan dengan semangat dan pandangan keagamaan di dalam organisasi tersebut. Pendekatan irfani, meski masih dalam pengembangan, dianggap sebagai wacana yang patut dikembangkan.
Syamsul Anwar menegaskan bahwa irfani bukanlah sumber pengetahuan diskursif, melainkan sebagai pengendali. Irfani berperan sebagai penyeimbang dari tekstualisme bayani dan liberalisme burhani. Keberadaan irfani di Muhammadiyah diperlukan untuk pengembangan nurani agar tidak terlalu kaku dan juga tidak terlalu bebas. Dengan demikian, Muhammadiyah terus berusaha mencari keseimbangan dalam menyikapi pendekatan irfani sebagai bagian dari identitas keagamaan mereka.
Sopa menganalisis bahwa pembahasan mengenai irfani dalam Muhammadiyah tidak hanya terbatas pada satu dimensi, melainkan mencakup tiga bentuk, yaitu irfani sebagai ihsan; irfani sebagai pilihan yang terbaik; dan irfani sebagai zuhud dan wara’.
Pertama, Irfani sebagai Ihsan. Irfani dipahami sebagai bentuk ihsan dalam konteks menyembah Allah dengan khusyu. Sesuai dengan hadis Riwayat Bukhari bahwa ihsan ialah beribadah seolah-olah dapat melihat Allah secara langsung.
Konsep ihsan juga mengandung makna berlaku baik terhadap sesama, terutama terhadap orang tua, kerabat, yatim, dan anak miskin, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 83. Haedar Nashir menafsirkan ihsan dalam konteks ini sebagai “rasa kemanusiaan atau empati,” yang dapat diilustrasikan dengan upaya mentaati protokol kesehatan sebagai bentuk empati terhadap para petugas kesehatan dalam menghadapi pandemi COVID-19.
Selain itu, Amin Abdullah juga pernah menyampaikan interpretasi irfani sebagai etika syari dalam budaya. Contohnya, dalam seni tari, ketika ada pertunjukan yang tidak menutup aurat, pendekatan irfani mengarah pada penyempurnaan dengan memberikan pakaian penutup aurat, bukan melarang sepenuhnya berdasarkan fatwa tarjih 2004 tentang hukum seni budaya dalam Islam.
Kedua, Irfani sebagai Pilihan Lebih Baik. Irfani diwujudkan sebagai pilihan lebih baik dengan cara memilih pendapat yang lebih maslahat dan lebih baik. Sebagai contoh, dalam konteks poligami, yang secara hukum diperbolehkan, namun pendekatan irfani mengarah pada pemilihan beristri satu jika tidak dapat berlaku adil.
Dalam masalah qishash, irfani mendorong untuk memaafkan sebagai pilihan yang lebih baik daripada membalas pembunuhan. Dalam ibadah, pendekatan irfani tercermin dalam melakukan ibadah yang memiliki dasar jelas dan lebih utama.
Ketiga, Irfani sebagai Zuhd dan Wara’. Kedua konsep ini memainkan peran penting dalam membimbing individu menuju pemahaman spiritual yang lebih dalam. Zuhud diartikan sebagai pembebasan hati dari keterikatan yang berlebihan pada harta benda. Ini dapat diwujudkan melalui amalan-amalan tanpa terikat dengan hasil, perkataan tanpa ketamakan, dan kemuliaan tanpa kekuasaan. Zuhud mengarah pada sikap yang menjauhi hal-hal yang dilarang dalam ajaran Islam.
Hadis Riwayat Ibnu Majah menyampaikan petuah Rasulullah saw terkait zuhud: “Zuhudlah terhadap dunia maka engkau akan dicintai Allah, dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia maka engkau akan dicintai manusia.” Konsep zuhud mengajarkan penghormatan terhadap nilai-nilai yang lebih tinggi daripada kepentingan duniawi semata.
Sementara itu, wara’ mencakup kemampuan bertindak untuk menghindari perkara syubhat dan hal-hal yang bertentangan dengan hati nurani. Perkara syubhat, yang dapat menyebabkan keraguan dan mengarah pada yang haram, merupakan fokus dalam pendekatan wara’.
Hadis yang disampaikan oleh Bukhari dan Muslim menyatakan: “Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat (samar-sama) yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa menjaga dirinya dari barang syubhat, ia telah berlepas diri (demi keselamatan) agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam syubhat, ia pun mudah terjerumus ke dalam yang haram.”
Adapun perbuatan yang bertentangan dengan hati nurani, seperti yang disampaikan dalam hadis At-Tirmidzi: “Tinggalkan apa yang meragukanmu dan lakukan yang tidak meragukan. Sesungguhnya kejujuran itu merupakan ketenangan, sedangkan kedustaan merupakan keraguan.”
Contoh penerapan metode irfani sebagai zuhud dan wara’ adalah ketika menunaikan salat dengan menggunakan pakaian yang tidak sekadar memenuhi batas minimal ketentuan menutup aurat, tetapi juga menggunakan pakaian rapih yang menutup aurat secara maksimal. Pendekatan ini menekankan pada kehormatan dalam beribadah, menunjukkan bahwa menghadap manusia pun harus dilakukan dengan penuh kesopanan, apalagi ketika menghadap Sang Pencipta manusia.
Demikianlah paparan mengenai dimensi irfani dalam Muhammadiyah, sebuah perjalanan makna yang mengajak kita melampaui batas teks dan kaidah logika. Irfani, sebagai pendekatan spiritual, bukan hanya mencari pemahaman keagamaan, tetapi juga membawa kita pada eksplorasi diri dan keseimbangan hakiki. Meskipun masih dalam proses pencarian rumusan, Muhammadiyah terus menggali potensi irfani sebagai sumber inspirasi, membentuk wacana yang patut dikembangkan dalam identitas keagamaan mereka.***(MHMD)