JAKARTA -- Satu kenyataan yang sering dilupakan orang adalah bahwa Muhammadiyah lahir dan besar di pusat kebudayaan Jawa, Yogyakarta. KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah adalah orang Jawa tulen yang hidup dan besar dalam lingkungan Jawa.
Ayahnya, KH Abu Bakar, adalah khatib terkemuka di masjid Kesultanan Yogyakarta pada masanya. Dengan melihat latar belakang Muhammadiyah tersebut, paling tidak, kultur kejawaan tersebut amat penting untuk dipahami oleh warga Muhammadiyah, khususnya yang menjadi caloncalon pimpinan tertinggi Muhammadiyah. Kenapa Jawa? Jawabnya: Jawa dan kebudayaannya adalah ”sebuah entitas budaya dan psikologis” yang nyaris telah menyatu dalam keindonesiaan.
Hal ini logis karena mayoritas penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa dan lebih dari 75% perekonomian dan pusat keuangan berada di Jawa. Yang menarik, sejak zaman kemerdekaan pun, hampir semua tokoh-tokoh nasional papan atas berasal dari Jawa. Jika pun tidak lahir di Jawa, mereka pernah menuntut ilmu dan tinggal di Jawa.
Kiai Dahlan dan Pak AR
Dalam sejarah Muhammadiyah, barangkali, pemimpin yang paling fenomenal adalah KH Ahmad Dahlan sendiri. Ini bukan saja karena beliau seorang pendiri Muhammadiyah yang ingin mendobrak kejumudan umat Islam, melainkan juga karena kemampuannya menyintesiskan pemikiran modern Islam dengan budaya Jawa.
Gagasannya untuk menjadikan umat Islam sebagai umat terpelajar dan mampu menyaingi kemajuan Barat terealisasi melalui berbagai pendidikan modern yang dirintisnya,yang mula-mula didirikan di Yogyakarta,pusat kebudayaan Jawa.
Kini Muhammadiyah telah menjadi satu-satunya organisasi Islam di dunia yang paling banyak mempunyai lembaga pendidikan, mulai TK,SD,SMP,SMU, sampai perguruan tinggi. Melalui jalur pendidikan modern inilah,Muhammadiyah mendapat sambutan masyarakat, baik di kota maupun pedalaman desa.
Di sisi lain, Muhammadiyah pun mencoba membumikan Islam dengan metode partisipatif.Pelajaran agama yang sebelumnya terlihat sangat elitis karena kental aroma Arabnya oleh Muhammadiyah diterjemahkan dalam simbol-simbol budaya setempat, khususnya Jawa, dengan bahasa lokal yang sederhana sehingga mudah dipelajari oleh wong cilik.
Budayawan Mohamad Sobary, mantan Ketua LKBN Antara, pernah bercerita bahwa dia mengenal Islam pertama kali di tempat kelahirannya di sebuah desa kecil di Bantul melalui langgar kecil Muhammadiyah. Sobary menceritakan, dulu Al-Fatihah dengan terjemahannya dinyanyikan dalam lagu-lagu Jawa yang sederhana sehingga mudah dipahami dan enak dinikmati.
Di pelosok-pelosok desa di Jawa,misalnya,ustadustad Muhammadiyah sangat pandai mengajarkan Islam dengan cara yang sederhana, enak, dan menyatu dengan kesenian Jawa. Banyak sekali tembang-tembang Jawa bernuansa Islam yang digubah oleh guru-guru Muhammadiyah.
Guru-guru dan dai Muhammadiyah tampaknya mengikuti jejak wali (yang juga seniman) Sunan Bonang, yang banyak menciptakan lagu-lagu bernuansa dakwah Islam dalam bahasa Jawa. Barangkali itulah yang menyebabkan Muhammadiyah cepat sekali tersebar di Jawa dan menjadi trend setter keislaman saat itu.
Melalui metode penyebaran Islam seperti itulah, Muhammadiyah mudah diterima orang Jawa. Soeharto, mantan Presiden RI yang fenomenal itu, bahkan mengaku pernah menikmati sekolah di SD Muhammadiyah.
Fenomena itu jelas sangat menarik karena Muhammadiyah sebetulnya didirikan oleh Ahmad Dahlan muda yang sangat mengagumi pemikiran-pemikiran modern Jamaludin Al-Afghani dan Sayyid Rasyid Ridha, tokoh intelektual muslim Timur Tengah yang berpikir modernis pada zamannya. Namun, melalui metode KH Ahmad Dahlan,pemikiran modern Al-Afghani dan Sayyid Ridha tersebut ”bisa bermetamorfosa” dengan budaya Jawa.Itulah keberhasilan yang fenomenal dari KH Ahmad Dahlan.
Dalam upayanya untuk memodernisasi Islam, Muhammadiyah tetap mampu mengharmoniskan Islam dengan budaya setempat tanpa menimbulkan gejolak.Muhammadiyah berhasil membentuk masyarakat Islam modern yang ramah dan berbudaya.
Dua pemimpin nasional Indonesia, Bung Karno dan Pak Harto, misalnya, dalam berbagai kesempatan mengakui bahwa Muhammadiyahlah organisasi yang memberikan inspirasi untuk membangun bangsa Indonesia. Di samping KH Ahmad Dahlan, tokoh Muhammadiyah yang amat fenomenal adalah KH Abdur Rozak Fachrudin––biasa disebut Pak AR. Beliau adalah pimpinan puncak Muhammadiyah terlama, 22 tahun (1968-1990).
Di bawah kepemimpinan Pak AR, Muhammadiyah terasa amat sejuk,damai, dan dicintai masyarakat, baik dari kalangan elite,wong cilik,maupun kalangan non-Islam. Muhammadiyah di zaman Pak AR tampil dengan amat bersahaja, merakyat, tapi disegani baik oleh rakyat maupun pemerintah.
Dengan mengendarai sepeda motor Yamaha butut warna kuning keluaran tahun 1970-an,Pak AR keluar-masuk kampung memberikan ceramah agama kepada rakyat kecil.Materi ceramahnya yang sederhana dengan menggunakan bahasa rakyat yang sederhana pula plus humor-humornya yang segar menjadikan Pak AR amat dicintai masyarakat kecil di Yogyakarta dan sekitarnya.
Wejangan KH Ahmad Dahlan (jangan mencari hidup di Muhammadiyah, tapi hidupkan Muhammadiyah) benar-benar dijalankan dengan amat baik oleh Pak AR. Dalam pikiran Pak AR,beragama dan membesarkan Muhammadiyah itu harus tulus ikhlas, tanpa pamrih.
Salah seorang yang dekat dengan keluarga Pak AR pernah menceritakan,Pak Harto setiap akan membentuk kabinet selalu menawarkan jabatan menteri kepada beliau.Tapi, Pak AR selalu menolaknya dengan alasan yang khas Jawa (kulo mboten pantes dados menteri– saya tidak pantas jadi menteri). Begitu pula ketika pimpinan PT Astra mau memberikan sedan Toyota keluaran terbaru.
Pak AR pun menolak dengan cara halus (wah pripun,nyopir mobil mboten saged, terus nggowo mobil, rumit./Wah bagaimana, menyetir mobil tak bisa, terus membawa mobil,rumit).Itulah Pak AR. Meski demikian, jika bantuan itu untuk membesarkan Muhammadiyah, Pak AR akan berjuang, tentu dengan gaya Jawanya yang halus.
Pak AR pernah bercerita,ketika Muhammadiyah berniat membangun universitas di Yogyakarta, beliau menitipkan surat kepada kenalannya yang dekat dengan Pak Harto. Isi suratnya sederhana: Pak Harto, Muhammadiyah bade mbangun universitas wonten Yogya. Menawi kerso monggo (Pak Harto, Muhammadiyah akan membangun universitas di Yogyakarta. Jika berminat, silakan).Seminggu kemudian, cerita Pak AR usai kuliah tujuh menit (kultum) bakda magrib di rumahnya, pihak istana memberi tahu bahwa Pak Harto telah mengirimkan cek sekian rupiah.
Itulah Pak AR, seorang pimpinan puncak Muhammadiyah yang amat sederhana, merakyat, berceramah agama dengan sederhana, menampilkan Islam dengan ramah, tanpa pamrih, dan hidup bersahaja sampai menghembuskan nafas terakhirnya.
Barangkali, ”kemewahan” yang dinikmati Pak AR adalah saat kematiannya di Jakarta, 17 Maret 1995, ketika berusia 79 tahun.Pak Harto langsung memerintahkan TNI untuk menyiapkan pesawat Hercules untuk mengantar jenazahnya ke Yogyakarta dengan sebuah upacara kebesaran. Bangsa Indonesia berduka. Ratusan ribu orang dari seluruh kalangan di Yogya mengiring kepergian Pak AR.
Di saat akhir hayatnya itulah masyarakat Indonesia tahu, betapa kebesaran pribadi Pak AR––seorang tokoh besar yang di depan rumahnya di Jalan Cik Di Tiro, Yogyakarta, tertulis ”Pom Bensin” yang ternyata pom bensin itu hanya menjual bensin eceran untuk mahasiswa, khususnya yang kos di rumahnya, rumah pinjaman Muhammadiyah tersebut.
”Di dunia modern ini, hanya ada dua tokoh Islam yang amat saya kagumi. Pertama, Ayatullah Ruhullah Khomeini. Kedua, KH AR Fachrudin,”kata budayawan Emha Ainun Najib. Kiai Dahlan dan Pak AR telah tiada. Pertanyaannya: masihkah Muhammadiyah menjadi tempat pengabdian orang-orang ikhlas untuk berjuang memperbaiki kualitas umat? Orang Muhammadiyahlah yang bisa menjawabnya dengan jujur.(*)
Judul Asli: Muhammadiyah dan Budaya Jawa
Sumber: Seputar Indonesia, Jumat, 02 Juli 2010
Penulis: M Bambang Pranowo, Guru Besar Sosiologi Agama UIN Jakarta