Iklan

buku

Iklan

buku
,

Iklan

Hukum Nikah Sirri Menurut Muhammadiyah

Redaksi
Jumat, 11 April 2025, 11:28 WIB Last Updated 2025-04-11T04:28:54Z
buku


JAKARTA --
Pernikahan dalam Islam adalah ikatan suci yang tidak hanya menyatukan dua insan, tetapi juga membawa tanggung jawab besar di hadapan Allah dan masyarakat. Namun, di tengah kemuliaan ajaran ini, muncul fenomena nikah sirri alias pernikahan yang dirahasiakan atau tidak dicatatkan secara resmi.


Istilah “nikah sirri” memang bukan barang baru dalam wacana keislaman. Sejak masa Imam Malik bin Anas, istilah ini telah dikenal, meski maknanya berbeda dengan yang kita kenal hari ini.


Dahulu, nikah sirri merujuk pada pernikahan yang memenuhi rukun dan syarat syariat: adanya mempelai laki-laki dan perempuan, ijab kabul oleh wali, serta dua saksi; namun saksi diminta merahasiakan peristiwa tersebut tanpa pengumuman seperti walimatul ‘ursy. Persoalannya saat itu adalah keabsahan pernikahan yang disembunyikan, bukan pencatatannya.


Kini, di Indonesia, nikah sirri memiliki arti lain. Ia merujuk pada pernikahan yang dilakukan sesuai syariat, namun tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi umat Islam atau Kantor Catatan Sipil bagi non-Muslim, sehingga tidak menghasilkan akta nikah resmi.


Fenomena ini, yang juga disebut “nikah di bawah tangan,” mulai marak pasca-diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Dalam Pasal 2 UU tersebut ditegaskan:


Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Lebih lanjut, Pasal 10 PP Nomor 9 Tahun 1975 mengatur bahwa perkawinan harus dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah dan disaksikan dua orang saksi, sesuai hukum agama masing-masing. Pasal 11 menegaskan bahwa akta nikah ditandatangani oleh mempelai, saksi, wali (bagi Muslim), dan Pegawai Pencatat sebagai bukti resmi. Pasal 13 memastikan akta ini disimpan dalam dua salinan dan kutipannya diberikan kepada suami-istri. Aturan ini tidak mengubah substansi syariat, tetapi menegaskan formalitas hukum demi ketertiban dan kepastian.


Pada masa Rasulullah SAW, pencatatan pernikahan memang belum dikenal. Sebuah pernikahan dianggap sah jika rukun dan syaratnya terpenuhi. Namun, Rasulullah menekankan pentingnya pengumuman, sebagaimana sabdanya:


أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ


“Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana.” (HR. Ibnu Majah dari ‘Aisyah)


أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ


“Adakanlah walimah meskipun hanya dengan memotong seekor kambing.” (HR. al-Bukhari dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf)


Pengumuman ini menjadi bukti sosial bahwa pernikahan telah terjadi. Jika ada perselisihan, kesaksian cukup menjadi alat bukti. Namun, seiring waktu, tuntutan zaman dan kemaslahatan umat mendorong negara-negara Muslim, termasuk Indonesia, untuk mewajibkan pencatatan.


Mengapa? Karena tanpa pencatatan, banyak hak terabaikan seperti nafkah istri, hubungan orang tua-anak, hingga warisan, dan lama kelamaan kepastian hukum menjadi rapuh.


Pencatatan pernikahan membawa manfaat besar. Akta nikah menjadi bukti otentik yang melindungi pihak-pihak dalam pernikahan. Jika suami ingkar tanggung jawab atau terjadi sengketa, istri dapat menuntut haknya secara hukum. Ini sejalan dengan kaidah fiqhiyah:


لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ


“Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.”


Ibnu al-Qayyim menambahkan:


تَغَيُّرُ اْلفَتْوَى وَاخْتِلاَفُهَا بِحَسَبِ تَغَيُّرِ اْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَاْلعَوَائِدِ


“Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat, dan adat istiadat.” (I’lam al-Muwaqqi’in, Juz III, hlm. 3)


Selain kepastian hukum, pencatatan memiliki fungsi preventif. Pasal 6 PP Nomor 9 Tahun 1975 mewajibkan penelitian syarat perkawinan oleh Pegawai Pencatat untuk mencegah pelanggaran seperti pernikahan terlarang atau pemalsuan identitas, misalnya pria yang menyembunyikan statusnya sebagai suami orang lain.


Dalam Islam, pencatatan ini dapat diqiyaskan pada perintah mencatat muamalah dalam Al-Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 282:


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُ


“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…”


Jika transaksi duniawi harus dicatat, apalagi akad nikah yang disebut mitsaqan ghalizha (perjanjian kuat) dalam surat An-Nisa ayat 21:


وَكَيۡفَ تَأۡخُذُونَهُۥ وَقَدۡ أَفۡضَىٰ بَعۡضُكُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٖ وَأَخَذۡنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظٗا


“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul dengan yang lain sebagai suami-istri, dan mereka telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”


Nikah sirri yang tidak tercatat membuka celah penyalahgunaan, baik untuk kepentingan pribadi maupun kerugian bagi istri dan anak. Ini bertentangan dengan prinsip kemaslahatan, sebagaimana kaidah:


تَصَرُّفُ اْلاِمَامُ عَلىَ الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ


“Suatu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya.”


Bagi warga Muhammadiyah, menghindari nikah sirri adalah keharusan, sejalan dengan Kepribadian Muhammadiyah yang diputuskan pada Muktamar ke-35, yang menegaskan ketaatan pada hukum dan peraturan negara yang sah.


Sebagai umat Islam, kita wajib menjadikan pernikahan tidak hanya sah di sisi syariat, tetapi juga diakui hukum negara. Hindari nikah secara diam-diam, karena pernikahan yang terang-benderang membawa kebaikan bagi keluarga dan masyarakat.


Referensi: Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, “Fatwa Tarjih Tentang Nikah Sirri”, https://web.suaramuhammadiyah.id/2016/05/22/fatwa-tarjih-tentang-nikah-sirri/, diakses pada Senin, 07 April 2025.

Iklan

PMB Uhamka