Iklan

buku

Iklan

buku
,

Iklan

KHGT, Harapan Mewujudkan Ketertiban Waktu

Redaksi
Kamis, 17 April 2025, 10:17 WIB Last Updated 2025-04-17T03:17:46Z
buku


JAKARTA --
Keputusan sidang isbat yang menetapkan Idulfitri 1446 H  jatuh pada 31 Maret 2025 di Indonesia, sebagaimana diumumkan Menteri Agama RI Nasaruddin Umar, membuka kembali diskusi tentang perbedaan penentuan awal Syawal di dunia Islam.


Informasi yang beredar menyebutkan bahwa Saudi Arabia menetapkan Idul Fitri sehari lebih awal, yakni pada 30 Maret 2025, bersama sejumlah negara seperti Yaman, Qatar, dan Turki. Sementara itu, negara lain seperti Pakistan, Mesir, dan Indonesia memilih 31 Maret 2025.


Perbedaan ini bukan sekadar variasi waktu, tetapi membawa konsekuensi serius bagi umat Islam, terutama jamaah umrah, yang tanpa sadar bisa menjalankan puasa Ramadan hanya 28 hari—kurang dari ketentuan syariat.


Menurut Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Susiknan Azhari, perbedaan penentuan awal Ramadan dan Syawal antara Saudi Arabia dan negara-negara anggota MABIMS (Brunei, Indonesia, Malaysia, Singapura) menciptakan situasi unik.


Jamaah umrah dari Malaysia, Brunei, atau Singapura yang berangkat ke Mekah di pertengahan Ramadan 1446, misalnya, menghadapi risiko menyelesaikan puasa lebih cepat. “Jika dihitung, puasa mereka hanya berlangsung 28 hari, dari 2 hingga 29 Maret 2025,” ungkap Susiknan.


Hal ini terjadi karena Saudi Arabia memulai Ramadan pada 1 Maret 2025, sehari lebih awal dari anggota MABIMS, dan mengakhiri Ramadan pada 30 Maret 2025. Situasi serupa juga dialami jamaah dari India, Pakistan, dan Maroko.


Fenomena ini bukan hal baru. Susiknan menjelaskan bahwa pada 1404 H/1984, Saudi Arabia pernah menjalankan puasa Ramadan hanya 28 hari akibat klaim rukyat yang kontroversial oleh al-Khudairy. Klaim tersebut memicu penetapan awal Syawal yang lebih cepat, mengesampingkan perhitungan kalender sipil berbasis hisab.


Meskipun pemerintah Saudi Arabia kemudian memperbaiki Kalender Ummul Qura dengan melibatkan ulama dan saintis seperti Zaki al-Mustafa, laporan rukyat mereka kerap dipertanyakan keabsahannya oleh ahli astronomi Islam.


Perbedaan ini menunjukkan tantangan mendasar dalam sistem penentuan waktu ibadah umat Islam. Selama rukyat tetap menjadi acuan utama, kasus puasa 28 hari berpotensi berulang, terutama jika Ramadan berlangsung 29 hari di Saudi Arabia.


Berdasarkan proyeksi hisab, perbedaan serupa diperkirakan terjadi pada 1447 H/2026, di mana Kalender Ummul Qura menetapkan awal Ramadan pada 18 Februari dan awal Syawal pada 20 Maret, sementara kalender berbasis Neo-Visibilitas Hilal MABIMS menunjukkan tanggal sehari lebih lambat. Bahkan, pada 1465 H/2043 hingga 1474 H/2052, kasus serupa berpotensi terulang.


Rasulullah SAW dalam hadis yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim menegaskan bahwa umur bulan hijriah adalah 29 atau 30 hari, tidak kurang dan tidak lebih. Puasa Ramadan selama 28 hari, sebagaimana dijelaskan Susiknan, menunjukkan “sistem waktu di dunia Islam yang kurang baik.”


Solusi jangka panjang, menurut Susiknan, terletak pada Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT), seperti yang diinisiasi Turki pada 1437 H/2016. Kalender ini berbasis hisab global dengan kriteria visibilitas hilal yang ilmiah, menawarkan sistem waktu yang teratur dan terintegrasi.


“Ini bukan sekadar idealisme, tetapi kebutuhan untuk menyatukan waktu ibadah umat Islam sedunia dengan dasar keilmuan yang luas dan legitimasi syar’i yang kuat,” tegasnya. KHGT dapat mencegah perbedaan signifikan seperti yang terjadi antara Kalender Ummul Qura dan kalender MABIMS, yang dalam 30 tahun ke depan diprediksi berbeda hingga delapan kali.


Kasus puasa 28 hari menjadi pengingat bahwa penyatuan waktu ibadah bukan hanya soal teknis, tetapi juga kemaslahatan umat. Dunia Islam membutuhkan langkah nyata menuju kalender global yang tidak hanya ilmiah, tetapi juga mampu mempersatukan umat dalam harmoni waktu.


Seperti kata Susiknan Azhari, ini adalah “kebutuhan untuk menyatukan waktu ibadah umat Islam sedunia.” Langkah menuju KHGT adalah harapan untuk mewujudkan ketertiban waktu yang mencerminkan kebesaran dan kesatuan umat Islam.


Referensi: Susiknan Azhari, “Refleksi Awal Syawal 1446: Menuju Kalender Hijriah Global Tunggal”, https://ibtimes.id/refleksi-awal-syawal-1446-menuju-kalender-hijriah-global-tunggal/, diakses pada Rabu, 16 April 2025.

Iklan

PMB Uhamka