Iklan

Iklan

,

Iklan

4 Cara Memaknai Filsafat Teknologi di Era Digital

Redaksi
Minggu, 26 Oktober 2025, 07:05 WIB Last Updated 2025-10-26T00:05:41Z


JAKARTA, Muhammadiyah Good News
|| Suatu sore di sebuah kafe kecil, aku melihat seorang anak remaja berbicara kepada ponselnya dengan penuh kesabaran. Ia meminta bantuan AI assistant untuk menulis puisi tentang persahabatan. 


Beberapa detik kemudian, layar ponselnya memunculkan bait-bait indah yang ia baca dengan kagum. Ada sesuatu yang lembut sekaligus menggelisahkan dalam pemandangan itu: seolah teknologi tidak lagi sekadar alat, tetapi teman, bahkan cermin dari pikiran manusia sendiri.


Dari situ, aku teringat pada pertanyaan lama yang kini berwajah baru: Apakah kita masih mengendalikan teknologi, ataukah teknologi mulai membentuk cara kita berpikir dan merasa?


1. Dari Alat ke Entitas: Perjalanan Panjang Teknologi


Dalam sejarah filsafat, teknologi pernah dilihat sekadar sebagai perpanjangan tangan manusia. Aristoteles menyebutnya techne, yaitu keterampilan manusia untuk mengolah alam. Namun, di abad ke-21, techne telah bermetamorfosis menjadi sistem otonom yang bisa berpikir, menilai, dan bahkan memprediksi perilaku manusia.


Kita tidak lagi hanya menggunakan mesin; kita hidup bersama mesin yang belajar. Di sinilah muncul kegelisahan Heidegger yang pernah berkata bahwa teknologi bukan sekadar alat (instrumental), melainkan cara hadirnya kebenaran. Dalam dunia digital, kebenaran itu hadir melalui data—angka, pola, dan prediksi—yang sering kali terasa lebih dipercaya daripada intuisi manusia itu sendiri.


2. Dunia yang Digerakkan Algoritma


Era digital adalah era algoritma: dunia yang diatur oleh logika tersembunyi dalam baris-baris kode. Ketika kita membuka media sosial, memutar lagu, atau mencari informasi, algoritma diam-diam menuntun kita ke arah tertentu. Ia tahu apa yang kita sukai, apa yang membuat kita marah, dan bahkan kapan kita paling rentan untuk membeli sesuatu.


Pertanyaan filosofisnya: jika algoritma memahami kita lebih baik daripada diri kita sendiri, di manakah letak kebebasan manusia? Apakah kita masih berpikir, atau sekadar dipikirkan oleh mesin?


Filsafat teknologi di era digital menuntut kita untuk merenungkan ulang makna kehendak bebas, identitas, dan kebenaran. Kita dihadapkan pada dilema eksistensial: bagaimana menjadi manusia di tengah dunia yang dirancang untuk memprediksi setiap tindakan manusia itu sendiri?


3. Manusia Digital dan Krisis Makna


Teknologi memang mempermudah hidup, tetapi ia juga mengubah cara kita memahami makna. Dalam dunia scroll dan swipe, waktu kehilangan kedalaman. Kita jarang merenung, karena layar selalu menyuguhkan hal baru sebelum pikiran sempat menenangkan diri.


Filsafat teknologi mengingatkan: setiap kemajuan teknis membawa konsekuensi moral. Ketika AI menulis puisi, mengarang musik, atau menciptakan gambar, manusia mungkin merasa tak lagi istimewa. Tapi justru di titik itulah muncul peluang refleksi. Mungkin keistimewaan manusia bukan pada kemampuan mencipta, melainkan pada kemampuan memberi makna.


Teknologi bisa meniru kreativitas, tapi tidak bisa merasakan keterharuan. Ia bisa merangkai kata, tapi tidak bisa memahami kehilangan. Dan di situlah letak kemanusiaan kita yang tak tergantikan.


4. Etika, Kesadaran, dan Masa Depan


Filsafat teknologi tidak hanya bertanya apa itu teknologi, tetapi juga bagaimana kita seharusnya hidup bersamanya. Apakah kita ingin dunia yang efisien, atau dunia yang bermakna? Apakah kita rela menukar privasi demi kenyamanan? Apakah kita membangun teknologi untuk kebaikan manusia, atau membiarkan manusia menjadi bahan bakar sistem digital raksasa?


Dalam konteks ini, etika menjadi pusat filsafat digital. Kita membutuhkan manusia yang tidak hanya melek teknologi, tetapi juga melek makna. Sebab pada akhirnya, teknologi hanyalah cermin: ia memantulkan wajah siapa pun yang menggunakannya. Jika kita membangun teknologi dengan nilai, ia akan memantulkan kemanusiaan. Tapi jika kita mengisinya dengan keserakahan dan manipulasi, ia akan memperbesar bayangan gelap itu.


Filsafat teknologi di era digital adalah ajakan untuk berhenti sejenak di tengah kecepatan. Untuk menatap layar bukan sekadar sebagai alat, melainkan sebagai simbol zaman yang sedang membentuk ulang kesadaran manusia.


Mungkin yang kita butuhkan bukan sekadar upgrade software, tetapi upgrade kesadaran. Supaya ketika mesin semakin cerdas, manusia tidak semakin kehilangan arah.


Karena pada akhirnya, bukan manusia yang harus menjadi seperti mesin—melainkan teknologi yang seharusnya tetap melayani kemanusiaan.*** (SAB)

Iklan