Oleh: Ace Somantri, Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung
Harakah al-amal Muhammadiyah dalam sekala nasional tidak diragukan. Namun, pada sisi lain harus diakui masih banyak hal ihwal yang belum maksimal.
Selain kualitas output dan outcome amal usaha yang sudah berjalan puluhan tahun masih jauh dari harapan. Isu strategis dunia pendidikan sebaiknya mulai diubah.
Pendidikan yang diselenggarakan Muhammadiyah selama ini relatif mengikuti arus keumuman publik dan tuntutan praktis dan pragmatis. Hal itu tercermin pada orientasi lulusan yang menekankan lebih banyak pada peningkatan mutu lulusan terserap dunia kerja di industri.
Standar industri
Jadi, standardisasi kompetensinya memenuhi tenaga kerja industri. Padahal skill tersebut cukup dapat dipenuhi dalam waktu singkat. Pun sama pemerintah melalui sekolah kejuruan yang menjamur bak jamur di musim hujan semua disiapkan untuk tenaga kerja.
Di sisi lain lambat laun tidak terasa industri mulai pada tutup dan gulung tikar dengan adanya revolusi industri 4.0 yang menggerus tenaga manusia.
Pertanyaanya, kenapa pendidikan Muhamamdiyah beberapa tahun ke belakang ini masih mengikuti pemerintah dengan mutu lulusan berorientasi sebagai tenaga kerja?
Idealnya jauh-jauh tahun ke belakang Muhammadiyah mempersiapkan lulusan yang memiliki skill dan talenta bisnis. Isu strategis ekonomi sebaiknya sejak Muhammadiyah lahir dan berdiri benar-benar ditopang dengan penuh berbagi kekuatan yang ada.
Para pendiri Muhammmadiyah sangat banyak berlatar belakang pembisnis tangguh dan saudagar kaya raya, termasuk KH Ahmad Dahlan pun sebagai pedagang atau pengusaha.
Oleh karena itu, dalam menjalankan dakwah, biaya amal tidak berpangku tangan pada orang lain, tetapi mampu secara mandiri. Tidak ada cerita berdakwah syiar agama amar makruf menunggu amplop transportasi dari jamaah.
Skill bisnis
Ada yang kurang tepat dalam merumuskan capaian belajar di Muhammadiyah. Dari sejak awal pengembangan pendidikan Muhammadiyah selain paham agama ritual formal dan karakter budi pekerti, seharusnya skill-nya diarahkan pada penguatan mental skill bisnis. Hal tersebut sebagaimana kompetensi yang dimiliki oleh pendiri Muhammadiyah.
Termasuk di beberapa wilayah Indonesia, para pendiri cabang dan ranting Muhammadiyahnya merupakan para pembisnis hebat.
Selama ini sekalipun ada Majelis Ekonomi Kewirausahaan, harakah al-amalnya banyak berhenti pada diskusi dan wacana di atas meja. Malah jauh kalah oleh para imigran non muslim atau warga keturunan non pribumi.
Penanaman karakter moralitas dalam penguatan pendidikan pokok Muhammadiyah memang tidak salah. Begitu seharusnya. Namun sayang penguatan skill usaha atau bisnis yang ada pada sosok pendiri Muhammadiyah tidak dibuat formula yang tepat sebagai pengusaha atau pembisnis.
Isu strategis Muhammadiyah dalam membuat formula melahirkan para pembisnis berkarakater menjadi titik fokus ke depan. Perangkat utamanya ditunjang dengan penguasaan teknologi kekinian.
Formula khusus
Tajdid ekonomi seharusnya dapat memberi ruang lebih cepat untuk menembus tembok dinding setebal apa pun apabila harakah al-amal ekonomi formulasinya dikhususkan. Tentu dengan modal sosial dan sumber daya manusia yang saat ini lebih dari cukup.
Perlu menjadi catatan bahwa masih ada waktu dan kesempatan. Masyarakat global saat ini membutuhkan spirit dan motivasi membangun kesejahteraan yang berkarakter tauhid.
Mereka di belahan dunia memiliki setumpuk skill bisnis, tetapi kering dari nilai-nilai ketuhanan. Muhammadiyah memiliki bekal ketauhidan, tetapi kering dalam skill bisnis. Sangat tepat apalagi berkolaborasi menuju tujuan akhir dunia yang hasanah dan akhirat yang hasanah.
Realitas dan fakta bahwa kelemahan Muhammadiyah dalam tajdid ekonomi mengakibatkan sikap dan perilaku penggerak organisasi persyarikatan mengalami stagnasi beramal saleh sehingga gerakan Islam amar makruf nahi munkar pun banyak berhenti.
Diakui dengan jujur ketika para aktivis persyarikatan mengalami kefakiran dalam pemenuhan hajat hidup sehari-hari. Tidak sedikit institusi pimpinan Muhamadiyah daerah, cabang, dan ranting Muhammadiyah di beberapa daerah tertentu mengalami “hidup enggan mati pun segan”.
Akhirnya eksistensi organisasi seakan-akan wujuduhu ka adamihi, adanya seperti tidak adanya.
Ekonomi keumatan
Oleh karena itu, momentum mukatmar kali ini menjadi wajib ‘ain bagi penggerak utama untuk membuat kebijakan yang fokus seluruh stakeholders memperkuat tajdid ekonomi keumatan yang rill dan praktis, bukan yang utopis.
Kolaborasi dengan berbagai entitas bisnis besar berskala multinasional yang kredibel dan transparan. Transfers knowledge dan skill bisnis juga mutlak era hari ini wajib dilakukan.
Atau melakukan kloning kepada amal usaha Muhamamdiyah yang sudah memiliki entitas bisnis sehat, dengan kebijakan dan rumusan terukur.
Tajdid ekonomi di berbagai level persyarikatan dalam waktu tertentu harus menjadi virus positif yang menebar ke berbagai jaringan syaraf tubuh persyarikatan hingga jamaah paling grassroot.
Kemampuan formulasi entitas bisnis tidak mustahil bagi Muhamamdiyah. Hanya dengan niat dibarengi iradah kubra maka Allah SWT akan memberikan iradah-Nya kepada Muhamamdiyah. Wallahu ‘alam.(FA)