Iklan

Iklan

,

Iklan

Menghidupkan Jiwa Entrepreneurship Umat

Redaksi
Senin, 19 Desember 2022, 08:55 WIB Last Updated 2022-12-19T01:55:24Z


BANDUNG
- Secara umum, realitas umat Islam saat ini masih banyak mengalami penyakit kronis berupa kemiskinan dan kebodohan. Ketidakmandirian umat Islam dalam bidang ekonomi diperkuat dengan beberapa fakta, yaitu tingginya angka kemiskinan yang menggurita di Indonesia, sumber daya alam yang banyak dikuasai oleh pihak asing, dan masih minimnya jumlah umat Islam yang menjadi produsen dalam pemenuhan kebutuhan pokok.


Hal ini bisa jadi merupakan dampak dari pemahaman ajaran Islam yang salah seperti konsep sabar masih dimaknai dengan kondisi lemah dan lamban, konsep qana’ah dipahami dengan sikap nrimo pada takdir yang ada. 


Konsep tawakal masih dipahami dengan sikap menyerah dan putus asa dengan keadaan, dan konsep zuhud dimaknai sebagai antiduniawi dan antiharta.


Beberapa kesalahpahaman terhadap ajaran Islam tersebut menjadi “virus” bagi umat Islam dan menyebabkan umat Islam relatif semakin bermental malas, lamban, “siap miskin”, dan akhirnya tidak berdaulat dalam aspek ekonomi. 


Sehingga upaya untuk mewujudkan kemandirian umat di tengah arus globalisasi ekonomi saat ini menghadapi banyak sekali tantangan yang harus dipikirkan bersama agar umat Islam tidak semakin tertinggal dalam aspek ekonomi.


Di sinilah perlunya kita menggalakkan umat untuk menumbuhkan jiwa-jiwa entrepreneurship dengan berdagang atau berbisnis. Gerakan menumbuhkan jiwa entrepreneurship juga bisa dimulai dari persyarikatan Muhammadiyah yang memiliki anggota di seluruh Indonesia dengan jaringan yang sangat luas.


Demikian pula ajaran Islam yang berwatak kosmopolitan mengajarkan umat muslim untuk mengejar kesejahteraan di dunia dan akhirat dengan berbagai usaha seperti halnya dengan berdagang dan berbisnis. 


Rasulullah saw bersabda, “Perhatikanlah olehmu sekalian, sesungguhnya sembilan dari sepuluh pintu rezeki di dunia ini adalah berdagang” (HR.Ahmad). 


Dari hadis tersebut, bisa kita pahami bahwa Rasulullah tak henti-hentinya mengimbau umatnya untuk berwirausaha guna mencari rezeki Allah yang halal.


Jika kita menelusuri sejarah kehidupan Nabi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul, beliau adalah seorang wirausahawan yang ulet dan sukses. Ia melatih mental wirausahanya dengan menjadi penggembala. 


Saat berusia 12 tahun, ia bahkan bekerja magang (intership) di tempat pamannya, Abu Thalib. Hingga kemudian menerima investasi untuk mengembangkan bisnisnya dari Khadijah yang merupakan saudagar kaya dengan konsep mudharabah (fee based and profit sharing).


Kesuksesan Nabi Muhammad dalam berbisnis dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kegigihan, integritas, dan kejujuran sehingga beliau mendapat julukan al-Amin. 


Jejak historis jiwa entrepreunership juga ada dalam DNA Muhammadiyah. Tercatat dalam sejarah bahwa awal gerakan dakwah Muhammadiyah diinisiasi oleh kaum saudagar. Selain sebagai pendakwah, Ahmad Dahlan, tokoh pendiri Muhammadiyah juga berprofesi sebagai seorang pedagang.


Bisnis Unggul dan Islami


Selain menumbuhkan jiwa enterpreunership di internal umat Islam, dalam menghadapi kompetisi di era globalisasi perlu kiranya memikirkan pengembangan bisnis yang unggul dan sesuai dengan nilai-nilai Islam. 


Peningkatan produktivitas dan dan daya saing menjadi kunci utama dalam memenangkan persaingan di era global saat ini.


Ada beberapa strategi yang bisa dilakukan. Pertama, memperluas skala produksi, tenaga kerja, pengembangan teknologi, pengetahuan, sistem manajemen usaha, dan ekspansi usaha. 


Kedua, menyiapkan SDM yang cakap, potensial, berdaya saing tinggi, dan adaptif dengan kemajuan teknologi digital. 


Ketiga, membangun hubungan harmonis dengan karyawan, pelanggan, dan mitra bisnis lainnya. Keempat, membuat pengelolaan keuangan yang kredibel dan transparan.


Dengan adanya manajemen pengelolaan keuangan yang rapi, maka akan terhindar dari kebangkrutan yang disebabkan oleh defisit anggaran yang tidak terkontrol. 


Selain beberapa strategi di atas, perlu kiranya para wirausahawan muslim memperhatikan kualitas produk demi memuaskan ‘dahaga’ konsumen dengan selalu memperhatikan aspek kehalalan mulai proses produksi hingga distribusi.


Dalam konteks membangun jiwa kewirausahaan umat yang berdaya saing tinggi dan bernilai rabbaniyah, orientasi final wirausahawan muslim adalah tercapainya tujuan falah (kebahagian dunia dan akhirat). 


Ini bisa tercapai dengan mengalokasikan hasil bisnis kita kepada hal-hal yang berguna bagi umat Islam seperti menunaikan zakat, infak, sedekah, dan wakaf.


Sekitar 14 abad lalu, Rasulullah telah mencontohkan bagaimana beliau menggunakan tabungan hasil bisnisnya untuk membiayai kegiatan dakwah Islam. Keteladanan Rasulullah ini kemudian dicontoh oleh para sahabat dan ulama-ulama salaf yang menjadikan aktivitas ekonomi mereka tidak hanya profit oriented namun juga untuk mendukung kegiatan dakwah Islam.


Demikian pula pada awal dakwah Muhammadiyah di Indonesia yang saat itu minim dukungan materi. Saat itu, jaringan saudagar Muhammadiyah mampu menginisiasi kemandirian finansial organisasi melalui kegiatan bisnis mereka.


Terakhir, yang juga tidak kalah penting adalah kesadaran kolektif bahwa membangun kemandirian ekonomi bangsa adalah tanggung jawab semua komponen masyarakat, by design bukan by accident. 


Maka di sinilah diperlukan taawun ala al birr wa al taqwa (surah al-Maidah ayat 2), dalam berbisnis melalui beberapa strategi seperti kerja sama musyarakah, mudharabah, koperasi, dan lain sebagainya. 


Jika ini mampu direalisasikan dengan baik, maka akan mampu mengarah kepada kemerdekaan ekonomi umat Islam.


Judul: Menuju Kemandirian Umat dengan Berbisnis

Penulis: Siti Majida, Anggota DPW IAEI DIY, Anggota PPNA, dan Kader Mubalighat ‘Aisyiyah

Sumber: suaraaisyiyah.id

Iklan