Iklan

Iklan

,

Iklan

Suara Muhammadiyah, Gagasan Hari Pers dan Warisan Budaya

Redaksi
Kamis, 24 Agustus 2023, 20:16 WIB Last Updated 2023-08-24T13:16:44Z


YOGYAKARTA
— Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah dengan Suara Muhammadiyah (SM) gelar seminar untuk memperingati Hari Pers Muhammadiyah, Rabu (23/8/2023) di SM Tower and Convention, Kota Yogyakarta. 


Selain kegiatan seminar, kegiatan ini juga sebagai tonggak sejarah di mana akan diusulkan tanggal 13 Agustus waktu terbit Suara Muhammadiyah yang pertama sebagai Hari Pers Muhammadiyah, dan mengusulkan SM sebagai warisan budaya benda dan tak benda.


Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Dadang Kahmad menyampaikan tahniah atas 108 tahun Suara Muhammadiyah yang terbit pertama kali pada 1915. Dadang menjelaskan, lahirnya SM tidak bisa dilepaskan dari konteks yang melingkupinya waktu itu.


Konteks yang terjadi saat itu adalah tingginya masyarakat yang buta huruf. Muhammadiyah merespons fenomena sekelilingnya selain mendirikan rumah sakit, sekolah, panti asuhan, juga dengan mendirikan Suara Muhammadiyah. Di sisi lain, imbuhnya, Muhammadiyah melahirkan SM sebagai aktualisasi dari perintah membaca.


Pada abad pertama, Suara Muhammadiyah menjadi media yang populer di kalangan warga Persyarikatan. Namun tantangan muncul di abad kedua ini, di tengah berbagai tantangan termasuk digitalisasi harus dijawab dengan elegan oleh SM dan manajerial yang taktis, supaya tidak tergilas roda peradaban.


Guru Besar Sosiologi Agama ini menambahkan, usulan 13 Agustus sebagai Hari Pers Muhammadiyah bukan tanpa alasan. Dipilihnya tanggal itu untuk merawat ingatan tentang lahirnya Majalah Suara Muhammadiyah, beserta peran-peran kebangsaannya. 


Sementara itu, Ketua MPI PP Muhammadiyah, Muchlas MT berharap melalui agenda ini media-media di lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah lebih profesional dan kompetitif. Lebih-lebih Muhammadiyah memiliki media tertua di Indonesia yaitu Suara Muhammadiyah.


“Kami akan mengusulkan untuk berkenan kiranya menetapkan pada 13 Agustus sebagai Hari Pers Muhammadiyah,” tuturnya.


Pemilihan waktu tersebut merujuk pada terbitan Suara Muhammadiyah pertama yaitu 13 Agustus 1915. Meski belum ditemukan secara fisik terbitan pertamanya, namun kata Muchlas, setelah melakukan penelitian dengan ketat ditemukan pada 13 Agustus 1915 tersebut sebagai waktu terbitan pertama.


Selain itu, MPI PP Muhammadiyah juga akan diusulkan menjadi warisan budaya benda dan tak benda. Dokumen terbitan SM edisi kedua yang tersimpan di Leiden akan didaftarkan sebagai warisan benda, dan muatan atau konten-kontennya diusulkan sebagai warisan budaya tak benda.


“Ada dua yang kami usulkan, yaitu peringatan Hari Pers Muhammadiyah — yang bukan hari pers tandingan dari hari pers nasional. Dan usulan SM sebagai warisan budaya,” sambungnya.


Hadir dalam agenda ini Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Ketua PP Muhammadiyah Dadang Kahmad, Ketua MPI PP Muhammadiyah Muchlas MT, Direksi SM Muchlas Abror, Pimpinan Redaksi SM Isngadi Marwa Atmaja, serta Mustofa W Hasyim.


SM Warisan Budaya Muhammadiyah


Mendapat usulan untuk menyetujui Hari Pers Muhammadiyah dan Suara Muhammadiyah menjadi warisan budaya benda dan tak benda, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir sampaikan untuk menunggu hasil sidang pleno pp Muhammadiyah.


Namun demikian, dalam pandangan pribadinya Haedar mengapresiasi inisiasi tersebut. Bahkan dia menyarankan untuk menambahkan, selain hari pers juga sebagai hari literasi publik. Dia juga menekankan, bahwa Hari Pers Muhammadiyah bukan saingan Hari Pers Nasional.


Dalam konteks membangun bangsa, Muhammadiyah menghadirkan media Suara Muhammadiyah berlatar belakang pada rendahnya tradisi membaca di masyarakat Indonesia. Sebab menurutnya, tradisi lisan lebih kuat daripada tradisi tulisan, hal itu bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di berbagai negara.


“SM punya memegang peran penting, membangun tradisi baru — selain sebagai media juga sebagai literasi,” tutur Haedar.


Mengungkapkan tentang sejarah munculnya tradisi membaca di Indonesia, Haedar menjelaskan bahwa tradisi itu tidak bisa dilepaskan dari keberadaan lembaga pendidikan — pesantren. Akan tetapi lebih cenderung hanya menguasai Bahasa Arab dan bahasa lokal. Namun untuk penguasaan Bahasa Latin hanya dikuasai elit yang mengenyam pendidikan di sekolah Belanda.


Dalam sejarahnya, penyebaran Majalah Suara Muhammadiyah berterima kasih kepada Organisasi Budi Utomo yang ikut menyebarluaskan Majalah Suara Muhammadiyah ke anggota-anggotanya. Antara Muhammadiyah dengan Budi Utomo memiliki arsiran tebal, karena tokoh-tokohnya juga saling kolaborasi. Bahkan Sutomo selain aktif di Budi Utomo juga tokoh Muhammadiyah.


“Jadi layak bahwa SM selain sebagai tonggak gerakan pers, namun juga membangun tradisi literasi. SM luar biasa perannya dalam mengenalkan Bahasa Indonesia,” imbuhnya.


“Jadi layak SM kita usulkan dan kami instruksikan untuk menyiapkan bahan dan usulan kepada pemerintah untuk menjadikan SM sebagai warisan budaya benda dan non benda. Karena itu tadi membantu mengenalkan Bahasa Indonesia sebelum Sumpah Pemuda,” ungkap Haedar.


Dari berbagai peran tersebut, SM menurut Haedar sangat layak menjadi tonggak sejarah kebangkitan nasional. Dia beralasan kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh Muhammadiyah bukan hanya urusan primordial, tapi juga kebangsaan. 


Pada kesempatan ini, Guru Besar Sosiologi ini menekankan tentang obyektifitas pemangku kebijakan dalam melihat sejarah. Sehingga keadilan itu tegak di atas semua golongan. Termasuk pengakuan terhadap Suara Muhammadiyah yang saat ini sudah menjadi bagian dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia.


Menghadapi realitas baru — era digital, Haedar berpesan supaya pers atau media bisa melakukan penyesuaian. Termasuk dalam mengawal arah jalan negara, sebab pers bagian dari pilar demokrasi untuk melakukan kritik terhadap pemerintah secara objektif, untuk meluruskan arah bangsa dan negara.


Di sisi lain, dia menekankan supaya pers atau media jangan sampai hanya menjadi stempel penguasa. Melainkan harus menjadi motor penggerak kemajuan bangsa secara kritis dan objektif. 


Menurutnya, pers dan media juga bertugas membangun tradisi literasi di masyarakat. Salah satunya mencerdaskan ekosistem media sosial, supaya tidak menjadi predator kebudayaan.


“Harus ada gerakan mencerdaskan ekosistem media sosial kita, dan itu bisa dimulai dari Muhammadiyah,” kata Haedar.


Melalui tradisi tersebut diharapkan pers dan media harus melatih otak publik untuk berpikir kritis dan objektif. Haedar berharap insan pers dan media meskipun berada di dunia yang tidak populer tetap memiliki usaha perubahan dengan membangun tradisi literasi Bangsa Indonesia.***

Iklan