Oleh: Dr. Hendar Riyadi, M.Ag | Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Bandung (UM Bandung).
BANDUNG -- Penyelamatan bumi, pemeliharaan dan pelestarian lingkungan, bukan sekedar panggilan bumi (call of earth) semata, melainkan lebih dari itu, merupakan panggilan ketuhanan (divine calling). Karena itu, konservasi alam atau pelestarian dan penjagaaan lingkungan, merupakan tindakan suci yang bersifat ilahiyah.
Dengan kata lain, hidup selaras dengan alam bukan sekedar pilihan, melainkan suatu kewajiban. Sebab, pelanggaran terhadap satu kaidah ekologis (misalnya, membuang sampah ke parit jalan, pencemaran air dengan limbah, penjarahan hutan, dll.) akan menyebabkan ketidakseimbangan dalam alam dan lingkungan lainnya. Tidak hanya itu, pelanggaran terhadap suatu kaidah ekologis tersebut, juga akan menyebabkan kemusnahan ekosistem lainnya, bahkan menjadi ancaman terhadap kehidupan manusia itu sendiri.
KTT ASEAN 2023 di Jakarta baru-baru ini menyebut isu lingkungan, khususnya masalah perubahan iklim berpotensi memberikan dampak besar terhadap seleuruh sendi kehidupan manusia, termasuk pangan, air, energi, kesehatan dan ekosistem. Risikonya akan sangat dirasakan oleh kelompok-kelompok marginal, seperti perempuan, anak-anak, kelompok lansia, warga dengan disabilitas dan masyarakat yang berpendapatan rendah. Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres telah mengingatkan bahwa sekarang kita memasuki era pendidihan global (global boiling). Menurutnya, era pemanasan global (global warming) telah berakhir. Penyebab terbesarnya adalah pembakaran bahan bakar fosil dengan tingkat emisi karbon yang dihasilkannya mencapai 36,6 gigaton sepanjang tahun 2022. Empat sumber bahan bakar fosil penyumbang emisi karbon terbesar adalah batu bara, minyak bumi, gas alam dan semen. Sementara negara penyumbang emisi bahan bakar fosil terbesar adalah China dengan emisi gas rumah kaca sebesar 11,4 gigaton. Kemudian disusul Amerika sebesar 5,1 gigaton, India sebesar 2,9 gigaton dan Uni Eropa sebesar 2,8 gigaton (Kompas/29/8/2023).
Di Indonesia, masalah lingkungan yang akhir-akhir ini sangat mencemaskan adalah soal darurat pengelolaan sampah. Hal ini ditunjukan dengan overcapacity Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di sejumlah daerah. Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyebut ada sepuluh provinsi pada tahun 2021 yang status TPA-nya sudah melebihi kapasitas daya tampungnya.
Kesepuluh provinsi itu adalah Provinsi Bengkulu, Kepulauan Riau, Jawa Barat, DIY, Banten, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat, dan Maluku dengat rata-rata overcapacity sampah yang masuk ke TPA sekitar 62,9 juta meter kubik per tahun.
Sementara, kapasitas tampungan sampah per daerah rata-rata hanya 37,1 juta meter kubik per tahun. Kondisi overcapacity dan lebih diperparah lagi dengan kebakaran seperti yang terjadi di TPA Sarimukti, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, merupakan contoh kecil dari darurat pengelolaan sampah dan menjadi masalah lingkungan di Indonesia yang sangat mencemaskan. Belum lagi masalah polusi udara, laut, sungai dan tanah serta deforestasi dan krisis lingkungan lainnya.
Menurut para ahli ekologi, masalah lingkungan hidup yang terjadi, baik dalam skala nasional maupun global, bukanlah semata persoalan teknis, melainkan sebagian besar bersumber pada prilaku manusia. Terjadi akibat prilaku ekologis manusia yang tidak mempedulikan kaidah-kaidah lingkungan. Ini artinya, bahwa masalah lingkungan adalah masalah moral, yaitu cara prilaku manusia dalam menyikapi lingkungan atau alam sekitarnya (A. Sonny Keraf, 2002: xiii).
Karena itu, upaya penyelamatan lingkungan mensyaratkan perubahan pada prilaku atau etika dalam berinteraksi dengan lingkungan dan alam sekitarnya. Dalam hal ini, fikih lingkungan perlu implementasi yang serius.
Asas dan Nilai Dasar
Setidaknya ada tiga ajaran panggilan ketuhanan sebagai asas dan nilai dasar (al-qiyâm al-asasiyyah) yang terkait dengan fikih atau narasi penyelamatan lingkungan dalam Islam.
Pertama, ajaran kemaslahatan.
Dalam kitab tafsir Mafâtih al-Ghaib karya al-Razi dan Bahru al-Muhîth karya Abu Hayyan, ketika keduanya memberikan komentar terhadap surat al-A’raf [7] ayat 56 menyebut bahwa yang dimaksud dengan ungkapan “lâ tufsidû fi al-ardh” adalah larangan melakukan segala bentuk tindak pengrusakan di bumi. Mencakup larangan pengrusakan jiwa, keturunan, harta, akal dan pengrusakan agama (Bahr al-Muhith/ Juz V: 362; Tafsir al-Razi/Juz VII: 146-147).
Lebih lanjut, al-Razi menjelaskan bahwa ungkapan QS. al-A’raf [7]: 56 di atas bersifat umum. Karena itu, seluruh hukum Allah termasuk dalam keumuman ayat tersebut. Maka seluruh prilaku, pekerjaan dan tindakan yang mengakibatkan rusaknya kelima aspek kemaslahatan (jiwa, keturunan, harta, akal dan agama) itu adalah di larang (haram).
Berdasarkan alasan ini, al-Razi menyebut dua kaidah (prinsip) agama, yaitu pertama, asal dari segala yang bermanfaat adalah boleh, halal (al-ashl fi al-manâfi’ al-hillu). Kedua, asal dari segala yang merusak atau membahayakan adalah haram (al-ashl fi al-madhâr al-hurmatu).
Berdasarkan ajaran kemaslahatan ini dapat disimpulkan bahwa pengrusakan lingkungan termasuk dalam kaidah di atas, yakni haram. Sebab, pengrusakan lingkungan, seperti dalam bentuk pembuangan limbah dan sampah secara sembarangan, penggundulan hutan (deforestasi), polusi udara, laut, sungai dan tanah serta dan penebangan liar atau illegal loging, tidak saja menimbulkan banyak korban jiwa, tetapi juga mengakibatkan hilangnya (rusaknya) harta benda bahkan terganggunya kesehatan dan akal pikiran (menjadi prustasi, dan depresi).
Kedua, ajaran kekhalifahan manusia.
Manusia adalah makhluk yang mendapat kedukan paling mulia dibanding makhluk lainnya (QS. Al-Isra, [17]: 170). Karena manusia memiliki kapasitas intelegensia yang tinggi (QS. Al-Baqarah [2]: 31-33) dan diperolehnya kemampuan ilmu pengetahuan (QS. Al-‘Alaq [96] : 4-5). Disamping itu, manusia juga diangugerahi kemampuan al-bayan (QS. Ar-Rahman [55]: 2), yaitu kemampuan manusia dalam mengungkapkan isi hati serta dalam mempraktekan kemampuan berpikir dan belajarnya.
Kemuliaan ini, menjadikannya berhak atas kepemimpinan di atas bumi atau menjadi khalifah fi al-‘ardh (QS, al-Baqarah [2]: 30). Tugasnya adalah mengemban amanah Tuhan dalam memperjuangan penegakkan sebuah tata sosial yang bermoral di atas dunia (QS. Al-Ahzab [33]: 72) serta membangun dan memakmurkan alam (QS. Hud [11]: 61).
Menurut Nurcholish Madjid (2000: 29) muara dari prinsip kekhalifahan adalah penegakkan tata moral dan keharusan melakukan perbaikan (ishlah atau reformasi) di atas bumi yang menekankan tugas manusia sebagai khalîfat Allâh fi al-‘ardh, yakni memelihara bumi atau berkaitan dengan usaha pelestarian lingkungan hidup yang alami dan sehat, disamping berusaha menciptakan sesuatu yang baru, yang baik (saleh) dan membawa kebaikan (maslahat) untuk manusia.
Karena itu, Al-Quran menuntut manusia untuk melakukan konsevasi (pelestarian) alam sebagai misi kekhalifahannya serta secara aktif melakukan inovasi-inovasi baru yang baik (saleh) dan membawa kebaikan (mashlahah) serta kesejahteraan bagi ummat manusia. Konsep pencitaan dan penundukan (taskhir) alam untuk manusia (QS. Al-Jatsiyah [45]: 12; Luqman [31]: 20; al-Hajj [22]: 65) harus dipahami dalam kerangka ajaran kekhalifahan tersebut, yaitu mengandung arti bahwa manusia memiliki kedudukan paling tinggi daripada alam yang ditundukkan kepadanya.
Sebab tidaklah wajar seorang khalifah tunduk dan merendahkan diri kepada sesuatu yang telah ditundukan Allah kepadanya. Walaupun demikian, hubungan manusia dengan alam bukan hubungan antara subyek dan obyek sebagaimana yang menjadi paradigma positivis, di mana manusia ditempatkan sebagai subyek yang menguras (mengeksploitasi) sementara alam ditempatkan sebagai obyek yang dikuras dan dieksploitasi.
Melainkan sebagai hubungan antara sesama makhluk Tuhan yang tunduk dan pasrah kepada-Nya. Sehingga antara manusia dan alam terjalin hubungan yang harmonis, hormat dan ramah. Pandangan ini sekaligus merumuskan tentang pentingnya sebuah keyakinan yang benar tentang pelestarian lingkungan hidup. Rumusan keyakinan inilah, barangkali yang dimaksudkan dengan teologi atau fikih lingkungan.
Ketiga, ajaran alam sebagai amanah dan nikmat.
Menurut Yusuf al-Qaradhawi (2002) eksistensi alam seperti digambarkan Al-Quran adalah diciptakan Allah secara sempurna, seimbang, mengikuti hukum-hukumnya, serta tunduk patuh dan berserah diri kepada Allah, sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia. Semua itu menunjukan bahwa alam itu adalah amanah yang harus dipelihara agar tetap dalam kesempurnaan dan keseimbangannya, sekaligus sebagai nikmat yang harus selalu disyukuri sehingga dapat dirasakan kebaikannya bagi generasi yang akan datang.
Keempat, ajaran “agama hijau” (greendin).
Inti gagasan dari “agama hijau” ini adalah bagaimana membagun harmoni antara kedalaman spiritual (kesalehan beragama) dan kesadaran lingkungan. Menurut Faraz Khan, seperti dikutip Abdul-Matin (2010: 21), ada enam prinsip “agama hijau” dalam Islam, yaitu tauhid (kesatuan Tuhan dengan ciptaan-Nya, ayat (memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya), khalifah (menjadi penjaga bumi), amanah (memegang teguh kepercayaan Tuhan atas potensi kita), adil (bersikap adil), dan mizan (hidup selaras dengan alam).
Akhlak dan Prinsip Universal
Keempat ajaran panggilan ketuhanan di atas menunjukan bahwa penjagaan dan pelestarian lingkungan merupakan kewajiban ilahiyah dalam mewujudkan kemaslahatan, tanggung jawab kekhalifahan serta amanah dan perwujudan dari agama hijau yang menuntut hidup selaras dengan alam. Berdasarkan ajaran panggilan ketuhanan ini, maka islam mengajarkan beberapa aturan dan akhlak dan prinsip universal (al-ushûl al-kulliyah) terhadap alam dan lingkungan (PP Muhammadiyah, 2003: 39-41).
Pertama, keharusan melakukan konservasi atau pelestarian sumberdaya alam dan ekosistemnya. Sumber-sumber daya alam yang terdapat dibumi merupakan amanat yang dipercayakan Allah kepada manusia. Karena itu, seharusnyalah manusia menjaga, memelihara dan melestarikannya. Pengrusakan adalah sebuah pengkhianatan atas amanah tersebut.
Kedua, dilarang melakukan usaha-usaha dan tindakan-tindakan yang menyebabkan kerusakan lingkungan alam termasuk kehidupan hayati, seperti binatang dan pepohonan, maupun lingkungan fisik dan biotik lainnya seperti air, laut, udara, sungai, dan sebagainya yang menyebabkan hilangnya keseimbangan ekosistem dan timbulnya bencana dalam kehidupan.
Ketiga, melakukan tindakan amar makruf nahy munkar dalam menghadapi kemungkaran, kezaliman, keserakahan, dan rekayasa serta kebijakan-kebijakan yang mengarah, mempengaruhi dan menyebabkan kerusakan lingkungan dan tereksploitasinya sumber-sumber daya alam yang menimbulkan kehancuran, kerusakan, dan ketidakadilan ekologis.
Keempat, melakukan kerjasama dan aksi-aksi praktis dengan berbagai pihak, baik perseorangan maupun kolektif dalam memelihara keseimbangan, kelestarian, keselamatan dan keutuhan lingkungan hidup sebagai manifestasi pengabdian dan kekhalifahan.
Terakhir, mengikuti hukum ekosentrisme dan biosentrisme perlu memberikan kesadaran bahwa manusia bukanlah semata makhluk sosial yang eksistensi dan identitas dirinya ditentukan oleh komunitas sosialnya. Tetapi, manusia juga adalah makhluk ekologis yang eksistensi dan identitas dirinya ikut dibentuk oleh alam. Dengan kata lain, manusia hanya bisa hidup dan berkembang secara utuh, jika manusia menjadi bagian dari komunitas sosial, sekaligus komunitas ekologisnya (Sonny Keraf, 2002: xv-xvii).
Manusia adalah bagian dari alam sendiri. Kita adalah saling bergantung. Masing-masing kita bergantung pada kesejahteraan keseluruhan dunia. Karena itu, adalah suatu keharusan untuk menghargai komunitas segala yang hidup, manusia, binatang, tumbuhan, pelestarian bumi, udara, air, minyak dan dunia seisinya (Hans Kung, 1996: 10).
Penutup
Secara ringkas, fikih lingkungan memiliki asas nilai yang kuat, yaitu asas kemaslahatan, kekhalifahan, amanah dan nikmat, serta asas agama hijau. Akhlak dan prinsip universalnya adalah kewajiban konservasi alam, larangan melakukan tindakan yang merusak lingkungan, amar makruf nahi munkar serta kerjasama dalam penyelamatan bumi dan pelestarian lingkungan.
Sedangkan hukum detilnya (ahkam al-far’iyah) merujuk pada hukum ekosentrisme dan biosentrime. Dengan demikian, fikih lingkungan merupakan panggilan bumi sekaligus panggilan ketuhanan dalam menjaga, merawat dan menyelamatkan bumi serta kelestarian lingkungan yang perlu terus diingatkan di era pendidihan global hari ini. Wallahu a’lam.*** (SAB)