Oleh: Prof. KH. Dadang Kahmad | Ketua PP Muhammadiyah
BANDUNG — Umat beragama mendasarkan keberagamaannya kepada ajaran pokok yang terkandung dalam kitab suci masing-masing dan kepada penafsiran para tokoh agama terhadap kitab suci mereka.
Penafsiran kitab suci dilatarbelakangi oleh perbedaan kebudayaan dan orientasi sosial serta penggalan hidup penafsirnya sehingga terjadi keragaman penafsiran terhadap suatu kitab suci.
Keragaman penafsiran konsekuensinya melahirkan keragaman kelompok keagamaan. Sehingga di dunia ini terdapat lebih dari empat ribu kelompok agama yang berafiliasi dengan enam agama besar dunia. Ditambah dengan ribuan agama lokal yang tersebar di berbagai pelosok pedalaman dunia.
Dalam perkembangan selanjutnya tiap kelompok agama tersebut merasa ajaran agama merekalah yang paling benar dan praktik keagamaan merekalah yang paling tepat sehingga timbul fanatisme kelompok yang kadang menjelma menjadi fanatisme sempit.
Banyak dari kelompok agama tersebut meyakini bahwa ajaran agama di luar kelompoknya adalah salah, sehingga menimbulkan dominasi suatu kelompok terhadap kelompok lain, bahkan banyak yang melikuidasi kelompok lain.
Contohnya larangan terhadap HTI, FPI, Ahmadiyah, dan sebagainya. Bahkan tidak sedikit di daerah tertentu terjadi konflik sosial di antara pemeluk kelompok keagamaan.
Konflik antar kelompok agama biasanya dilatarbelakangi oleh berbagai kepentingan di luar agama. Bisa juga kepentingan politik tertentu atau mungkin dilatarbelakangi oleh perebutan pengaruh terhadap penguasaan aset ekonomi di sebuah daerah.
Keadaan tersebut diperparah oleh faktor rendahnya tingkat pendidikan dan juga rendahnya tingkat ekonomi suatu masyarakat.
Dalam “Rakyat Kecil, Islam, dan Politik”, tulisan Martin Van Bruinessen (1998) hasil penelitian di Sukapakir, Kota Bandung, memperlihatkan bahwa kemiskinan melahirkan agresivitas dan keberagamaan yang eksklusif.
Mencurigai orang lain yang berbeda dan diskriminasi terhadap suku yang berbeda. Bagi para perekayasa sosial, potensi konflik itu bisa dimanfaatkan untuk kepentingan yang bersifat positif ataupun kepentingan bersifat negatif.
Kepentingan positif adalah untuk melahirkan persaingan kelompok dalam memajukan masyarakat “fastabiqul khairat”. Tiap kelompok disuruh berlomba dalam membangun kelompoknya walaupun risikonya terjadi konflik sosial.
Adapun kepentingan negatif adalah konflik antar kelompok sengaja diperbesar dengan provokasi sehingga konflik semakin meruncing.
Kepentingan “bisnis” mereka berjalan lancar dan sukses. Kepentingan politik biasanya dengan model belah bambu, yakni satu kelompok diangkat dan diakui keberadaannya bahkan fatwanya diakui sebagai paham keagamaan rezim.
Sementara itu, kelompok lain ditekan bahkan diancam untuk dibubarkan atau dengan kata lain terjadi rezimitasi agama. Pada masyarakat yang kurang maju seperti di Indonesia masih diperlukan adanya regulasi yang mengatur hubungan antar pemeluk agama dan pemeluk antar kelompok agama.
Karena kesadaran bersatu dalam perbedaan belum tertanam secara luas dan egoisme kelompok masih begitu tinggi di masyarakat tersebut. Agama masih merupakan alat ukur dalam setiap aspek kehidupan sehingga posisi agama begitu sentral.
Perbedaan keyakinan belum dipahami sebagai sebuah keniscayaan. Mereka menginginkan homoginitas tetap lestari sebagai kondisi yang menenteramkan dan menyenangkan. Padahal konflik karena perbedaan akan selalu tetap ada walau bukan karena perbedaan paham agama.***
Sumber: Majalah SM edisi 16-30 September 2023.