Iklan

Iklan

,

Iklan

Urgensi Penafsiran Kontekstual dalam Memaknai Ayat Al-Quran di Muhammadiyah

Redaksi
Minggu, 12 November 2023, 19:24 WIB Last Updated 2023-11-12T12:24:57Z


SURAKARTA
— Dalam pandangan Khaled Abou El Fadl, seorang cendekiawan Islam, Al-Qur’an dan setiap teks lain seakan “diam seribu bahasa”, menunggu untuk dihidupkan oleh pembacanya. Melihat fakta ini, pertanyaan mendasar muncul: apakah menjadi seorang mufasir adalah karunia atau beban?


Pandangan ini mendapatkan sorotan khusus dalam Konferensi Mufasir Muhammadiyah yang digelar pada Sabtu (11/11/2023) di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam 1995-2000, Amin Abdullah menjelaskan bahwa peran seorang mufasir tidak hanya sebagai pembaca, tetapi juga sebagai penafsir yang memiliki otoritas. 


“Al Quran dan juga teks lainnya itu sebetulnya diam seribu bahasa. Yang bisa membunyikan teks itu adalah pembacanya. Jadi, peran bapak ibu di sini itu penting sekali. Otoritas ada di pihak mufasir. Maka, apakah ini karunia atau beban?”


Karunia yang dimaksudkan adalah ruang keleluasaan dan keluwesan yang diberikan oleh penafsiran teks, memungkinkan penyesuaian makna teks sesuai dengan perkembangan zaman yang dinamis. Namun, di sisi lain, karunia ini juga menjadi beban berat karena setiap mufasir harus mengambil tanggung jawab atas nilai-nilai normatif yang terkandung dalam teks. Amin mengingatkan bahwa interpretasi teks sangat dipengaruhi oleh kualitas moral pembaca atau mufasirnya.


“Sebagai konsekuensinya, makna atau arti dari sebuah teks/nash sangat tergantung pada kualitas moral pembaca atau penafsirnya. Makna teks tergantung pada para penafsir, mau diarahkan ke mana?” tantang Amin.


Apabila Al Quran ditafsirkan oleh seorang intoleran, maka teks tersebut akan menjadi ajakan perbuatan yang menyeramkan. Namun, di tangan seorang yang humanis, teks tersebut akan bercorak toleran. Dengan tegas, Amin menyatakan, “Wajah Muhammadiyah tergantung wajah mufasir Muhammadiyah.”


Amin juga menyampaikan pandangan bahwa teks-kitab suci memiliki keterbatasan, sementara realitas kehidupan terus berkembang tanpa kendali penuh oleh para ulama. Oleh karena itu, penafsiran ulang menjadi suatu keharusan untuk menjawab tantangan realitas. “Penafsiran ulang adalah keniscayaan,” tegasnya, mengutip Fazlur Rahman.


Menurut Amin, jika kegiatan penafsiran terhenti, akan timbul stagnasi, jumud, taklid buta, dan itulah yang sejak awal telah dikritik oleh Muhammadiyah. Tanpa penafsiran ulang, masyarakat dapat memberontak dan beralih ke jalan sekuler karena agama tidak memberikan arahan yang relevan dengan perkembangan zaman.


Amin kemudian memberikan contoh konkret dari tafsir ayat QS. al-Rum [30]:41. Menurut Ibnu Jarir al-Thabari (839-923 M), frasa ‘kerusakan di darat’ dapat dimaknai sebagai pembunuhan manusia, sementara ‘kerusakan di laut’ merujuk pada peristiwa perompakan. Ibnu Katsir (1301-1372 M) mengartikan ‘kerusakan di darat’ sebagai terbunuhnya manusia akibat perselisihan dan peperangan, sedangkan ‘kerusakan di laut’ diartikan sebagai perompakan terhadap kapal-kapal kaum pedagang.


Namun, Amin Abdullah memberikan catatan kritis terhadap tafsir semacam ini. Ia menegaskan bahwa penafsiran yang telah ada perlu ditinjau ulang, terutama dalam konteks zaman modern seperti saat ini. Sebab, aktivitas perompakan yang menjadi interpretasi pada masa lalu hampir tidak lagi terjadi. Yang ada saat ini adalah aktivitas ekonomi bisnis yang seringkali menghancurkan lingkungan.


Pandangan Amin Abdullah mencerminkan perlunya penafsiran yang sesuai dengan realitas zaman, mengingat konteks sosial, ekonomi, dan lingkungan yang terus berubah. Dalam era modern ini, mufakir perlu melihat ulang makna-makna yang mungkin telah usang dan tidak relevan lagi dengan keadaan saat ini. Dengan demikian, penafsiran ulang menjadi sebuah tuntutan untuk menjaga keaktualan dan relevansi ajaran agama dalam menghadapi perubahan zaman yang dinamis.


Tiga Komponen Penting 


Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam 1995-2000 Amin Abdullah corak tafsir kontemporer berbeda dengan tafsir klasik. Tafsir klasik hanya melibatkan dua elemen, yaitu teks dan realitas. Mereka tidak melibatkan kesadaran para pembacanya/audiens.


“Para penafsir dulu hanya menulis dan hampir tidak memiliki kesadaran terhadap para pembaca,” ucap Amin Abdullah dalam acara Konferensi Mufasir Muhammadiyah yang digelar pada Sabtu (11/11) di Universitas Muhammadiyah Surakarta


Menurut Amin, penafsiran al-Qur’an era kontemporer melibatkan tiga elemen, yaitu antara Teks, Realitas dan Kesadaran. Ketiganya tidak bisa berdiri sendiri-sendiri terlepas yang satu dari yang lain. Dalam bahasa Hasan Hanafi: Teks, Realitas dan Kesadaran/Wawasan/Pandangan dunia. Bahasa Khaled Abu El Fadl: Teks, Author dan Reader.


Pertama, Teks dianggap sebagai entitas nyata dan otonom. Meski begitu, ia hanya menjadi diam dan tak berbicara tanpa adanya intervensi dari pembaca atau penafsir. Amin menekankan bahwa pembaca atau penafsir memiliki peran krusial dalam membunyikan, menjelaskan, menafsirkan, dan mengintervensi teks sehingga dapat membentuk pola pikir, pandangan, dan pendapat, serta memandu tingkah laku para pembacanya.


Selanjutnya, Amin menggambarkan kedua elemen lainnya, yaitu Realitas. Dalam konteks ini, ia mencakup berbagai aspek antropologi budaya, seperti budaya material dan teknologi, organisasi sosial, sistem ekonomi, politik, bahasa, adat istiadat, seni, ideologi, agama, kesehatan, dan pengobatan. Amin menekankan bahwa perubahan global dalam 150 tahun terakhir, termasuk globalisasi, migrasi, revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan iklim, telah memengaruhi cara pandang masyarakat terhadap dunia dan membentuk realitas yang terus berkembang.


Terakhir, Amin memfokuskan pada elemen ketiga, yaitu Kesadaran. Ia menjelaskan bahwa kesadaran, wawasan, atau cara berpikir yang selalu harus terupdate oleh perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan, memainkan peran kunci dalam menentukan corak penafsiran. Dengan merinci bahwa perubahan dalam tata kelola pemerintahan, interaksi antaragama, kesetaraan gender, dan pemahaman akan harkat dan martabat manusia, semuanya memerlukan kesadaran yang terus berkembang.


Dengan adanya ketiga elemen penting ini, yakni Teks, Realitas, dan Kesadaran, penafsiran terhadap teks Al-Qur’an diharapkan akan terus berlangsung. Amin Abdullah menekankan bahwa keberlanjutan penafsiran Al-Qur’an menjadi suatu keniscayaan, mengingat dinamika kompleks antara teks yang otonom, realitas yang terus berkembang, dan kesadaran yang selalu terupdate.


Teks Al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan oleh Amin, memiliki eksistensi yang nyata, namun untuk memberikan arti dan panduan yang relevan dengan zaman, ia memerlukan intervensi pembaca atau penafsir. Dengan keterlibatan realitas yang terus berubah, seperti perubahan dalam tata kelola pemerintahan, interaksi antaragama, dan perkembangan ilmu pengetahuan, penafsiran Al-Qur’an diharapkan dapat memberikan arahan yang sesuai dengan konteks zaman.***(MHMD)

Iklan