JAKARTA — Muhammadiyah telah lama memperhatikan isu difabel. Muhammadiyah mendekati isu difabel secara kontekstual, dimulai dengan memberikan perhatian pada isu difabel dengan model amal.
Dalam konteks layanan untuk anak-anak penyandang difabel, terdapat dua jenis layanan: panti asuhan dan Sekolah Luar Biasa. Hingga saat ini, Muhammadiyah memiliki lebih dari 300 panti dan lebih dari 70 Sekolah Luar Biasa.
SLB pertama yang didirikan Muhammadiyah tahun 1986 di Tasikmalaya, Jawa Barat, dengan nama SLB Aisyiyah. Mereka yang sekolah di SLB Muhammadiyah umumnya tinggal di dalam panti asuhan. Sistem pendidikan di SLB Muhammadiyah ini sama seperti sekolah khusus di beberapa negara.
SLB Muhammadiyah terbuka untuk semua siswa dengan difabel. Biaya mereka ditanggung biasanya oleh dana pribadi, dana keagamaan yang diambil dari zakat atau sedekah, atau dana publik lainnya.
Salah satu program unggulan dari SLB dan panti Muhammadiyah adalah pelatihan kejuruan untuk anak-anak dengan difabel. Kalangan difabel anak-anak diberdayakan supaya terasah minat dan bakatnya.
SLB Aisyiyah biasanya menyelenggarakan berbagai pelatihan keterampilan produktif untuk siswa dengan difabel. Sebagai contoh, SLB Aisyiyah Ponorogo menyediakan pelatihan keterampilan kuliner dan kemasan produk.
Pada tahun 2020, Majelis Pelayanan Sosial Pimpinan Pusat Muhammadiyah memberikan bantuan modal usaha dan pelatihan kewirausahaan kepada penyandang difabel yang tinggal di Panti Muhammadiyah atau Aisyiyah.
Pelatihan kewirausahaan difokuskan pada pemasaran online, meningkatkan apa yang beberapa penyandang difabel sudah punya pengalaman.
Menurut Arif Maftuhin dan Abidah Muflihati (2022), SLB dan panti Muhammadiyah cenderung lebih terbuka untuk berbagai siswa, daripada SLB pada umumnya. Sebagai contoh, Panti Aisyiyah di Karanganyar merawat seorang anak tuli, Panti Aisyiah di Semarang menerima seorang anak dengan down sindrom, dan Panti Aisyiyah Kendal merawat seorang anak dengan difabel fisik.
Selain panti dan SLB, sekolah-sekolah Muhammadiyah juga terbuka bagi siswa dengan difabel. Data dari Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (DIKPORA) Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2014-2015 menunjukkan bahwa dari 86 sekolah inklusif, terdapat tiga sekolah Muhammadiyah di Kota Yogyakarta.
SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta dan SMA Muhammadiyah 7 Yogyakarta termasuk sekolah-sekolah dengan banyak siswa penyandang difabel.
Pemberdayaan Muhammadiyah terhadap kalangan difabel tidak hanya berbasis pendidikan, tapi juga berbasis masyarakat. Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) mendampingi komunitas difabel di Ngaglik, Sleman, yang mencakup lebih dari 60 anggota difabel, sedangkan di Gunung Kidul lebih dari 50 anggota difabel.
Menurut Arif Maftuhin dan Abidah Muflihati (2022), di Ngaglik, komunitas difabel ini berhasil mendirikan Koperasi Simpan Pinjam Mandiri atau KSP Bank Difabel, yang anggotanya berasal dari daerah lain di Yogyakarta, termasuk Bantul dan Kulonprogo.
Pada tahun 2018, Majelis Kesejahteraan Sosial (MKS) ‘Aisyiyah melaksanakan pengembangan ekonomi serupa untuk komunitas penyandang difabel di Ponorogo. Aisyiah mengadopsi model pemberdayaan berbasis panti dan berbasis masyarakat.
Dengan kerjasama Lazismu, mereka melatih berbagai komunitas penyandang difabel, seperti penyandang difabel pendengaran, fisik, dan mental, untuk memproduksi batik dan menjualnya di Ponorogo.
Dukungan Muhammadiyah terhadap kalangan difabel semakin dikuatkan dengan adanya argumentasi agama. Melalui keputusan Muktamar ke-47, Muhammadiyah mengakui pentingnya memperkuat keterlibatan dan dukungannya terhadap penyandang difabel.
Keputusan ini kemudian melahirkan inisiatif untuk membentuk tim penyusunan Fikih Difabel pada tahun 2018 di bawah naungan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.
Anggota tim penyusunan Fikih Difabel dipilih dengan mempertimbangkan representasi dari berbagai elemen di dalam Muhammadiyah. Ini termasuk perwakilan dari Majelis Tarjih dan Tajdid, Majelis Pemberdayaan Masyarakat, dan Majelis Kesejahteraan Sosial PP Aisyiyah.
Anggota tim juga mencakup perwakilan perempuan, penyandang difabel, akademisi, aktivis sosial, dan pakar agama. Dengan demikian, proses penyusunan Fikih Difabel melibatkan beragam perspektif dan pengalaman, memastikan representativitas yang baik.
Kehadiran Fikih Difabel yang telah selesai disusun tahun 2022 ini menjadi penambahan berharga terhadap khazanah Muhammadiyah dalam upaya pemberdayaan kalangan difabel. Lebih dari sekadar model amal, Fikih Difabel memberikan landasan argumentatif dan legitimasi agama terhadap dukungan Muhammadiyah terhadap kesejahteraan hidup penyandang difabel.
Seiring dengan perkembangan ini, Muhammadiyah tidak hanya mengandalkan model amal, namun juga menjadikan argumentasi agama sebagai pijakan utama dalam memberdayakan penyandang difabel. Langkah ini mencerminkan evolusi Muhammadiyah dalam menanggapi isu-isu sosial dengan pendekatan yang holistik dan berbasis nilai-nilai keagamaan.
Penulis: Ilham Ibrahim/muhammadiyah.or.id
Referensi:
Arif Maftuhin dan Abidah Muflihati, “The Fikih Difabel of Muhammadiyah: context, content, and aspiration to an inclusive Islam”, dalam Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, Vol. 12. No. 02 (2022).
Tim Penyusun Materi Munas Tarjih Muhammadiyah XXXI. “Materi Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXXI: Mewujudkan Nilai-Nilai Keislaman yang Maju dan Mencerahkan.” Panitia Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXXI, November 2020.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Profil 1 Abad Muhammadiyah. Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2010.