Iklan

Iklan

,

Iklan

Mencari Landasan Teologis Islam Berkemajuan

Redaksi
Sabtu, 27 September 2025, 14:59 WIB Last Updated 2025-09-27T07:59:36Z


YOGYAKARTA
, Muhammadiyah Good News || Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menjadi tuan rumah penyelenggaraan Seminar Sehari Risalah Akidah Islam Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Sabtu (27/09/2025).


Acara ini menjadi momentum penting dalam upaya Muhammadiyah memperkuat fondasi akidah sebagai pijakan teologis bagi Islam Berkemajuan di ranah global.


Dalam pembukaan seminar, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Kiai Saad Ibrahim, menekankan bahwa akar dari kejayaan peradaban Islam terletak pada tauhid dan keimanan. Ia mengisahkan peristiwa menjelang hijrah Nabi Muhammad Saw ketika para pemuka Quraisy meminta dialog, dan Nabi menegaskan satu syarat, yakni pengakuan terhadap kalimat La Ilaha Illallah.


“Kalimat ini kelak menaklukkan Persia dan Romawi, serta menjadi kekuatan dahsyat yang menegakkan peradaban Islam berabad-abad lamanya,” ujarnya.


Kiai Saad juga menyinggung pentingnya dimensi teologis dalam perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk dalam menghadapi era teknologi modern. Ia menekankan bahwa hierarki epistemik Islam menempatkan wahyu, akal, pembuktian empiris, dan intuisi secara berurutan dengan Tuhan di posisi tertinggi.


“Membuang intuisi memang menghadirkan kemajuan luar biasa, tapi manusia kehilangan arah spiritual. Pada akhirnya, manusia akan kembali mencari jalan spiritualisme. Maka risalah akidah yang kita susun harus mampu menjawab tantangan zaman,” tegasnya.


Lebih jauh, Kiai Saad mengajak Muhammadiyah menghadirkan risalah akidah yang tidak hanya berhenti pada tulisan, tetapi juga menawarkan pandangan segar dengan relevansi kekinian. Ia mengaitkan persoalan teologi dengan analogi teori kuantum, serta menekankan pentingnya menghadirkan dimensi teologis dalam dunia literasi digital agar manusia tidak tercerabut dari akar ketuhanannya.


Sementara itu, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Hamim Ilyas, menyampaikan bahwa upaya penyusunan risalah akidah Muhammadiyah sesungguhnya sudah dirintis sejak 1970-an.


Namun, tradisi keilmuan Muhammadiyah lebih banyak berfokus pada fikih dan ushul fikih, sehingga gagasan tersebut belum terwujud. Kini, inisiatif tersebut kembali digelorakan dengan semangat baru.


“Rapat pleno Januari lalu menetapkan 2026 sebagai target penyusunan risalah akidah. Rumusannya akan berpijak pada muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dan Kitab Masalah Lima sebagai dasar akidah Muhammadiyah. Risalah ini diharapkan dapat berkontribusi secara teologis untuk memperkuat peran Islam Berkemajuan di ranah global,” jelas Hamim.


Ia menegaskan pentingnya risalah akidah sebagai landasan mentalitas pemenang bagi umat Islam. “Saat ini, 1,8 miliar umat Islam kalah oleh 13 juta orang Israel. Kita ingin akidah Muhammadiyah menjadi fondasi teologis yang menggerakkan umat Islam untuk bangkit dan menjadi pemenang,” tambahnya.


Dalam kesempatan yang sama, Wakil Rektor UMY, Zuly Qodir, mengingatkan perlunya keberanian umat Islam dalam membangun kekuatan teologis dan sosial. Menurutnya, kelemahan umat Islam sering terletak pada mentalitas muamalah yang tidak digarap dengan serius.


“Muhammadiyah memiliki banyak orang hebat dan pintar, tetapi kadang kurang berani memainkan wacana keagamaan. Kita sering terlalu tawadhu, padahal semestinya suara perlawanan menuju kemenangan harus lebih bertenaga,” ucapnya.


Seminar ini menjadi ruang penting untuk mempertemukan gagasan para pemikir Muhammadiyah mengenai urgensi risalah akidah. Harapannya, penyusunan risalah tersebut dapat melahirkan fondasi keilmuan yang kokoh, relevan dengan tantangan kontemporer.


Akidah Menjawab Tantangan Zaman


Anggota Majelis Tarjih PP Muhammadiyah Ustadi Hamsah menekankan perlunya transformasi pemahaman akidah agar lebih kontekstual dengan tantangan zaman.


Dalam paparannya, Ustadi menjelaskan bahwa perjalanan pemikiran akidah dalam Islam tidak pernah statis. Pada periode klasik, perdebatan teologi berfokus pada isu-isu yang sangat abstrak, seperti status iman pelaku dosa besar, hubungan kehendak Tuhan dan kehendak manusia, atau sifat-sifat Allah.


Model teologi klasik ini lahir dalam suasana polemik internal umat Islam, bersifat sangat teosentris, serta menggunakan pendekatan deduktif. Teologi klasik selalu berangkat dari teks suci untuk kemudian dibela secara apologetik.


Seiring perkembangan zaman, pola itu tidak lagi memadai. Tantangan modern berupa kolonialisme, kemajuan sains, serta gelombang pemikiran Barat membuat umat Islam perlu mengubah cara berpikirnya.


Menurut Ustadi, teologi kontemporer menuntut pergeseran orientasi: dari perdebatan doktrinal menuju aktualisasi nilai. Pendekatan induktif yang berangkat dari pengalaman sosial, fenomena ilmu pengetahuan, dan problem kemanusiaan sesungguhnya menjadi lebih relevan.


Dengan cara ini, akidah Islam tidak hanya berbicara tentang Tuhan secara metafisis, tetapi juga menghadirkan nilai ilahi untuk menjawab persoalan nyata, mulai dari kemiskinan, ketidakadilan, kerusakan lingkungan, hingga krisis kemanusiaan global.


Bagi Ustadi, teologi modern tidak bisa lagi berhenti pada abstraksi. Ia harus menjadi teologi yang solutif dan transformatif. Dengan kata lain, akidah harus menuntun manusia bukan hanya dalam hal ibadah ritual, tetapi juga dalam membangun keadilan sosial, kepedulian pada sesama, dan tanggung jawab terhadap alam.


Tauhid Fungsional sebagai Sistem Nilai


Dari titik inilah Ustadi mengusulkan konsep tauhid fungsional. Tauhid, menurutnya, tidak boleh dipahami hanya sebagai doktrin keimanan yang terjaga di ranah dogma, melainkan sebagai sistem nilai yang menggerakkan amal nyata.


Prinsip keesaan Allah harus melahirkan kesadaran moral dan spiritual yang menuntun umat Islam dalam seluruh aspek kehidupan: keluarga, masyarakat, politik, ekonomi, hingga kepedulian pada lingkungan hidup.


Dalam tradisi Muhammadiyah, konsep ini sebenarnya sudah lama tercermin. Rumusan Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (MKCH) menyatakan cita-cita mewujudkan masyarakat utama, adil, dan makmur sebagai wujud pengabdian kepada Allah. Bagi Ustadi, inilah contoh konkret tauhid yang berfungsi sebagai sistem nilai.


Karena itu, amal usaha Muhammadiyah di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan sosial bukan hanya aktivitas organisasi semata, melainkan ekspresi teologis. Sekolah, rumah sakit, dan berbagai program pemberdayaan masyarakat adalah bentuk ibadah sosial yang berpangkal pada tauhid.


“Mengabdikan diri kepada Allah tidak bisa dipisahkan dari upaya menghadirkan kemaslahatan untuk sesama manusia,” jelasnya.


Lebih jauh, tauhid fungsional juga menuntut kepedulian pada alam semesta. Ustadi menekankan prinsip kesatuan ciptaan, bahwa seluruh alam berada di bawah satu Tuhan. Konsekuensinya, manusia sebagai khalifah memiliki amanah untuk menjaga kelestarian bumi. Dengan begitu, tauhid bisa lebih peduli lingkungan, adil dalam sosial, dan berbuat ihsan dalam relasi kemanusiaan.


Tantangan Keberagamaan Modern


Ustadi tidak menutup mata bahwa umat Islam menghadapi tantangan serius dalam pola keberagamaan. Ia mengutip kerangka pemikiran Amin Abdullah yang membedakan tiga model keberagamaan: subjektif, objektif, dan intersubjektif.


Keberagamaan subjektif ditandai dengan pemahaman yang eksklusif, fanatik, dan sempit. Kelompok ini mudah mengklaim paling benar dan sering menyalahkan pihak lain. Sebaliknya, keberagamaan objektif melihat agama hanya sebagai objek studi rasional, sehingga rawan kehilangan ruh spiritual. Kedua model ekstrem ini, menurut Ustadi, sama-sama bermasalah.


Solusi yang ditawarkan adalah pola keberagamaan intersubjektif, yaitu keberagamaan yang memadukan kesalehan pribadi dengan keluasan pandangan intelektual dan kepedulian sosial. Dalam pola ini, seorang muslim tidak hanya taat beribadah, tetapi juga menjadi warga dunia yang aktif memperjuangkan keadilan, perdamaian, dan kesejahteraan bersama.


“Tauhid fungsional pada hakikatnya mendorong lahirnya keberagamaan intersubjektif. Iman yang kokoh harus diwujudkan dalam amal nyata yang dirasakan manfaatnya oleh sesama,” tegas Ustadi.


Melalui seminar ini, Ustadi menekankan bahwa risalah akidah Muhammadiyah ke depan harus mampu menangkap semangat transformasi tersebut. Akidah tidak boleh berhenti sebagai wacana normatif, melainkan harus menjadi kerangka nilai yang mendorong peradaban maju dan adil.


Ia menutup pemaparannya dengan optimisme bahwa tauhid fungsional akan menjadi fondasi penting bagi Islam Berkemajuan. *** (MHMD)

Iklan