
Oleh: Muhammad Ridha Basri, Dosen Universitas Ahmad Dahlan.
JAKARTA, Muhammadiyah Good News || Di tengah laju pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang terus diagungkan, kita sering mendengar kalimat yang terdengar bijak tetapi sesungguhnya mengandung dilema: “Kesejahteraan adalah tanggung jawab kita bersama.” Kalimat itu tampak luhur, penuh semangat kolektif. Namun dalam kenyataan, ia kerap menjadi tirai retorik yang menutupi kenyataan: bahwa penderitaan rakyat sering lahir dari keputusan segelintir orang yang berkuasa, dan mereka menolak memikul tanggung jawabnya.
Istilah Latin mengenal konsep: trajectio in alium, yang berarti tindakan yang berpindah ke pihak lain. Konsep ini sederhana tapi tajam, dan relevan dengan situasi kita. Ia mengingatkan kita bahwa setiap tindakan manusia, terlebih tindakan politik dan ekonomi, tidak pernah berhenti pada diri pelakunya saja. Setiap keputusan individu selalu berdampak, menyeberang, menyentuh, bahkan menentukan nasib orang lain.
Ketika seorang pejabat menandatangani izin eksploitasi sumber daya tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan, ketika pengusaha besar menekan upah buruh demi laba, atau ketika kebijakan ekonomi lebih memanjakan investor ketimbang petani, maka sesungguhnya di sana prinsip “trajectio in alium” bekerja secara nyata. Tindakan-tindakan itu berpindah dari ruang rapat berpendingin udara ke desa-desa yang kehilangan sumber air; dari tanda tangan pejabat ke tubuh-tubuh buruh yang bekerja tanpa jaminan; dari keputusan ekonomi di pusat kota ke wajah nelayan yang tak lagi bisa melaut karena lautnya rusak.
Manifestasi “trajectio in alium” dalam bentuk yang lain berupa penderitaan yang berpindah tangan oleh karena kebijakan yang tidak mempertimbangkan nasib orang banyak. Ada banyak daftar untuk dimasukkan sebagai contoh ketika tanggung jawab, kekuasaan, dan kenikmatan berada di satu pihak, tetapi akibat dan deritanya dialihkan kepada pihak lain.
Namun, yang lebih menyedihkan adalah bagaimana pelaku penyalahgunaan kekuasaan sering berlindung di balik narasi tanggung jawab kolektif. Kalimatnya bisa berupa, “Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, kesejahteraan adalah tanggung jawab bersama.”
Kalimat itu tampak egaliter, tapi secara moral tidak sepenuhnya tepat. Dalam etika sosial, tanggung jawab tidak bisa dibagi rata antara mereka yang memiliki kuasa besar dan mereka yang tidak memiliki daya ubah apa-apa. Ketika kekayaan dan pengaruh terpusat di tangan segelintir elite, maka tanggung jawab sosial mereka pun menjadi jauh lebih besar. Menghapus asimetri tanggung jawab itu berarti meniadakan keadilan itu sendiri.
Kita tahu, rakyat kecil tidak memiliki kekuasaan untuk mengubah arah kebijakan. Petani tidak bisa menetapkan harga gabahnya sendiri. Buruh tidak menentukan besaran upahnya. Nelayan tidak bisa menghentikan kapal-kapal besar yang merusak lautnya. Maka ketika penderitaan lahir dari sistem yang dirancang dan dijalankan oleh elite politik dan ekonomi, tanggung jawab moral pun tak bisa “ditimpakan” ke rakyat. Di sana, ada kekuasaan yang timpang.
Sebaliknya, dalam negara yang beradab, kekuasaan justru harus menjadi sarana trajectio in alium dalam makna yang positif. Yaitu perpindahan manfaat, kesejahteraan, dan keadilan dari mereka yang berkuasa kepada rakyat. Kekuasaan sejati adalah kemampuan untuk membuat kebijakan yang beresonansi sebagai kebaikan di tubuh sosial, bukan derita yang menetes ke bawah. Satu tanda tangan penguasa yang bijak, akan meneteskan manfaat bagi jutaan orang.
Negara ini didirikan atas cita-cita “kesejahteraan umum”, bukan “kesejahteraan sebagian.” Dalam kerangka itu, setiap kebijakan ekonomi, setiap regulasi, dan setiap proyek pembangunan mesti diuji dengan satu pertanyaan sederhana namun mendasar: Siapa yang sesungguhnya menerima dampak baik dan menanggung akibat buruk dari setiap regulasi?
Secara ideal, yang semestinya menerima dampak baik dari setiap kebijakan adalah rakyat banyak. Tindakan yang berpindah atau berdampak ke pihak lain seharusnya menjadi jembatan kebaikan, bukan saluran derita. Ia seharusnya membuat kehidupan bersama menjadi lebih manusiawi, bukan menambah jurang antara istana dan rumah-rumah reyot di pinggir kota.
Barangkali, untuk menjadi bangsa yang benar-benar adil dan sejahtera, kita perlu memulai dari kesadaran sederhana: Setiap kebijakan yang dibuat, setiap keputusan yang diambil, selalu melintasi diri subjek dan menyeberang ke kehidupan orang lain. Maka, jangan biarkan trajectio in alium berubah menjadi mesin penderitaan. Jadikan ia aliran kebaikan yang menetes dari puncak kekuasaan ke dasar kehidupan rakyat.
Muhammadiyah dan Dampak Baik
Dalam lanskap sosial Indonesia, Muhammadiyah adalah contoh paling nyata dari gerakan masyarakat sipil yang menjalankan trajectio in alium dalam makna positif. Melalui teologi al-Ma’un yang menegaskan bahwa iman sejati terwujud dalam kepedulian terhadap sesama, Muhammadiyah telah menunjukkan bagaimana tindakan keagamaan bisa melintasi batas ritual menuju praksis sosial yang nyata.
Sejak awal abad ke-20, gerakan ini telah memindahkan energi keagamaan ke dalam kerja-kerja kemanusiaan: membangun sekolah untuk anak miskin, mendirikan rumah sakit untuk rakyat kecil, serta mengembangkan koperasi dan amal usaha yang menopang ekonomi umat. Di sinilah trajectio in alium menemukan makna luhur: iman yang berpindah menjadi kesejahteraan bagi sesama.
Namun, keagungan moral itu justru menyingkap sisi lain dari kenyataan sosial kita: bahwa banyak pekerjaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara, justru dipikul oleh masyarakat sipil seperti Muhammadiyah. Lembaga ini, dengan segala keterbatasannya, menjalankan fungsi yang semestinya dijalankan oleh pemerintah, seperti: mencerdaskan kehidupan bangsa, mengikis kemiskinan, dan memulihkan martabat manusia. Muhammadiyah melangkah bukan karena menggantikan negara, tetapi karena menjawab panggilan nurani dan larangan mendustakan agama.
Meski demikian, peran sosial Muhammadiyah hanya sebagai “pembantu” bagi negara, bukan penanggung jawab utama. Etika trajectio in alium tetap berlaku pada kekuasaan: setiap kebijakan negara yang gagal menyejahterakan rakyat tetap meninggalkan beban moral di pundak penguasa. Pemerintah tidak boleh menjadikan keberhasilan ormas sebagai alasan untuk tidak memperbaiki sistem kesejahteraan publik. Sebaliknya, negara seharusnya mendukung dan memperkuat peran ormas seperti Muhammadiyah demi kesejahteraan sebanyak mungkin rakyat Indonesia.
Di bidang pendidikan, Muhammadiyah telah membangun ratusan universitas dan ribuan sekolah dari kota hingga pelosok desa. Di bidang kesehatan, ratusan rumah sakit dan klinik Muhammadiyah melayani jutaan pasien tanpa diskriminasi agama atau status sosial. Di bidang ekonomi, berbagai lembaga keuangan mikro dan pemberdayaan umat telah menjadi penyambung hidup masyarakat kecil. Semua ini adalah wujud trajectio in alium yang melahirkan kemaslahatan bersama. Namun, sebanyak apapun Muhammadiyah berbuat, tangannya masih sangat terbatas dibanding semua yang dimiliki negara.
Pada Milad ke-113 tahun 2025, Muhammadiyah mengusung tema “Memajukan Kesejahteraan Bangsa.” Tema ini mengandung pesan kuat tentang pentingnya memperkuat gerakan sosial-ekonomi yang berkeadilan dan berlandaskan nilai-nilai spiritual. Melalui semangat Teologi al-Ma’un, Muhammadiyah menegaskan tanggung jawab moral untuk menghadirkan kesejahteraan yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat, sembari mendorong negara agar berpihak pada kepentingan rakyat kecil.
Akhirnya, bangsa yang adil, makmur, dan sejahtera adalah bangsa yang mampu menyatukan tanggung jawab moral kekuatan masyarakat sipil dan tanggung jawab struktural negara. Muhammadiyah telah menunjukkan bahwa iman bisa menyeberang menjadi tindakan sosial. Pemerintah juga harus selalu memastikan bahwa kebijakan publik bisa menyeberang menjadi kesejahteraan nyata. Hanya dengan demikian, trajectio in alium akan benar-benar menjadi jembatan dari kekuasaan menuju kemanusiaan yang adil dan beradab. ***


