BANDUNG, Muhammadiyah Good News || 113. Bukan sekadar penanda usia sebuah organisasi, tetapi ia jejak panjang kesadaran moral yang terus tumbuh di tubuh bangsa. Satu abad lebih Muhammadiyah berjalan seperti aliran sungai yang tenang namun konsisten, mengikis karang keterbelakangan, membuka jalan bagi cahaya pengetahuan, dan menanam nilai berkemajuan dan kebermanfaatan dalam kehidupan sosial Indonesia.
Tema “memajukan kesejahteraan bangsa” pada milad kali ini seperti menggemakan kembali denyut nadi awal kelahiran Muhammadiyah, bahwa agama tidak dimaksudkan sebagai mercusuar yang hanya bisa dinikmati dari kejauhan, tetapi sebagai cahaya yang hadir di tengah kehidupan, menuntun sikap dan langkah manusia menyusuri jalan-jalan pengabdian.
Dalam kenyataan yang sesungguhnya, kita menyaksikan bahwa sejak awal mula, Muhammadiyah telah memahami bahwa kesejahteraan bukan semata perkara lahiriah, melainkan sebuah ikhtiar menyempurnakan kemanusiaan, menyatukan nilai-nilai iman dengan tugas menghadirkan kebaikan yang nyata bagi sesama. Bagi bangsa dan negara. Bagi ibu pertiwi tercinta.
Nilai Tajdid
Kesejahteraan bangsa dalam bingkai pemikiran Muhammadiyah selalu berakar pada nilai tajdid: “pembaruan terus-menerus”. Sebuah siasat dan gerak pembaruan yang tidak menghapus tradisi, tidak menolak kemodernan, tetapi merajut keduanya menjadi kekuatan yang melahirkan kemajuan. Saya kira, di sinilah Muhammadiyah menjadi “jembatan yang kokoh” antara teks dan realitas, antara nilai langit dan kebutuhan bumi.
“Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari kehidupan di dalamnya,” begitu kata KH. Ahmad Dahlan. Sebuah tuturan yang sederhana namun sarat makna. Pesan ini bukan hanya nasihat organisasi, tetapi sebuah kesaksian bahkan menjada semacam kompas spiritual bahwa setiap pengabdian seharusnya bergerak dan bertumpu dari keikhlasan, bukan atas dasar kepentingan. Maka, memajukan kesejahteraan bangsa adalah tugas yang menuntut ketulusan langkah dan kejernihan mata batin.
Dalam cahaya milad ke-113 ini, kita diingatkan bahwa kesejahteraan bangsa tidak mungkin lahir dari ruang hampa. Ia tumbuh dari pendidikan yang mencerahkan, dari layanan kesehatan yang merata, dari keadilan sosial yang diupayakan tanpa henti, dan dari keberanian moral untuk berpihak kepada yang lemah. Seakan menggemakan pemikiran Al-Farabi tentang al-Madînah al-Fadhilah, bahwa sebuah bangsa hanya dapat disebut utama ketika para penghuninya saling menolong dalam kebaikan dan ilmu menjadi nafas kehidupannya.
Perjalanan Kolektif Kemanusiaan
Refleksi ini membawa kita pada kesadaran bahwa gerak Muhammadiyah bukanlah perjalanan personal, tetapi perjalanan kolektif bagi kemanusiaan. Setiap langkahnya, dari sekolah kecil di sudut kampung hingga universitas besar yang berdiri megah adalah manifestasi dari cita-cita untuk menghadirkan rahmat dalam wajah sosial yang nyata.
Muhammadiyah dengan seluruh amal usaha yang menjadi kakinya mengajak kita semua untuk kembali menata hati, bahwa kesejahteraan bangsa bukan tujuan yang selesai dalam satu dekade atau satu generasi, melainkan tugas peradaban. Kita diajak untuk kembali menyatukan doa dan kerja, dzikir dan pikir, idealisme dan aksi. Sebab seperti diingatkan oleh Ibn Khaldun, “peradaban dibangun oleh kerja keras, runtuh oleh kelalaian.”
Milad ke-113 sesungguhnya dapat dibaca sebagai undangan batin untuk menata ulang cara kita memaknai kemajuan. Di tengah arus zaman yang mengukur keberhasilan lewat grafik pertumbuhan, indeks ekonomi, dan target-target statistik, peringatan ini mengingatkan bahwa kejayaan sebuah bangsa tidak cukup diringkas menjadi deretan angka di laporan resmi. Bangsa yang benar-benar sejahtera adalah bangsa yang warganya saling menjaga martabat, merawat yang lemah, dan menghidupkan kasih sayang sosial dalam praktik sehari-hari, dari cara pemerintah merumuskan kebijakan, cara lembaga-lembaga pendidikan membentuk karakter, hingga cara sesederhana menyapa tetangga dan berbagi ruang hidup secara adil.
Di titik ini, 113 tahun bukan sekadar penanda usia, melainkan cermin yang mempertanyakan: sejauh mana kita telah menjadikan keadilan, empati, dan kepedulian sebagai denyut utama kehidupan bersama?
Horizon Berpikir
Namun, kasih sayang sosial saja tidak cukup bila tidak dibarengi keluasan cakrawala intelektual. Milad ke-113 juga dapat dimaknai sebagai momentum untuk memperluas horizon berpikir: mendorong masyarakat yang kritis sekaligus arif, yang tidak mudah terjebak polarisasi dangkal, dan berani merumuskan jawaban baru atas problem-problem lama, yaitu ketimpangan, kemiskinan, kerusakan lingkungan, hingga krisis kepercayaan. Cakrawala intelektual yang luas berarti membuka diri pada dialog lintas ilmu, lintas generasi, dan lintas tradisi, tanpa kehilangan akar nilai yang telah diwariskan pendiri-pendiri bangsa dan para pendahulu.
Dengan demikian, perayaan 113 tahun bukan hanya nostalgia terhadap masa lalu, tetapi ikrar untuk menyiapkan masa depan. Masa depan di mana pertumbuhan ekonomi berjalan seiring dengan pendalaman nurani, dan di mana kecanggihan teknologi berkelindan dengan kebijaksanaan kolektif untuk membangun peradaban yang lebih manusiawi.
Penutup
Semoga dengan bertambahnya usia, Muhammadiyah terus menjadi mata air keteladanan yang tak hanya jernih dan menyejukkan, tetapi juga mampu memantulkan kegelisahan dan harapan zaman. Dari sumber itu, generasi demi generasi belajar bahwa kesejahteraan bangsa bukan semata deret angka dalam laporan pembangunan, melainkan terpancarnya cahaya ilmu yang mencerahkan nurani, keikhlasan yang bekerja dalam diam, dan kemanusiaan yang hadir dalam wajah paling konkret: sekolah yang bermutu, rumah sakit yang terjangkau, panti asuhan yang hangat, dan ruang-ruang dialog yang merangkul perbedaan.
Di usia yang kian matang, biarlah Muhammadiyah terus mengalir menembus sekat politik, mazhab, dan kepentingan sempit, menjaga agar dakwah berkemajuan tetap berpijak pada keadilan sosial dan keberpihakan kepada yang lemah. Semoga setiap langkah tajdid bukan hanya dimaknai sebagai pembaruan organisasi, tetapi juga sebagai ajakan pribadi bagi kita semua untuk terus memperbarui hati, cara berpikir, dan cara berkhidmat. Dengan begitu, perjalanan Muhammadiyah bukan hanya deret peringatan milad, tetapi perjalanan panjang menyulam sejarah, tempat di mana ilmu menjadi suluh, amal menjadi napas, dan kemanusiaan menjadi arah. Allahu a’lam bi Showab.
Radea Juli A. Hambali, alumni Pesantren Darul Arqom Muhammadiyah Daerah Garut dan Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung



