Iklan

Iklan

,

Iklan

Inilah 4 Nilai Dasar Beragama Menurut Perspektif Muhammadiyah

Redaksi
Kamis, 04 November 2021, 21:36 WIB Last Updated 2022-08-29T00:49:39Z


Agama mengandung nilai-nilai ruhani yang merupakan kebutuhan pokok kehidupan manusia. Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Atang Solihin dalam kajian yang diselenggarakan Pimpinan Ranting Muhammadiyah Taman Tirto Utara pada Senin (01/11/2021) menyebutkan bahwa ada empat nilai-nilai dasar beragama dalam Islam, di antaranya:


1. Tawhid (tauhid). 


Nilai tauhid menjadi dasar seluruh konsep dan aktivitas umat Islam, baik ekonomi, politik, sosial maupun  budaya. Hakikat tauhid adalah penyerahan diri yang bulat kepada kehendak Ilahi, baik menyangkut ibadah maupun muamalah, dalam rangka menciptakan pola kehidupan yang sesuai kehendak Allah.


“Nilai dasar kita dalam beragama itu adalah al-Tawhid, mengesakan Allah. Jadi salat, hidup, mati, itu semuanya kita orientasikan hanya kepada Allah dan karena Allah. Walau pun nanti dalam detail pelaksanaan ibadahnya terdapat perbedaan, tapi pada dasarnya kepada Allah,” terang Atang sambil mengutip QS. Al An’am ayat 162, Al Dzariyat ayat 56, dan Al Hujurat ayat 7.


2. Ittiba’ (mengikuti). 


Nilai dasar beragama ini mengemukakan tentang pentingnya setiap Muslim selalu menaati seluruh larangan dan perintah Allah Swt sekaligus meneladani dan mengikuti Rasulullah Saw. Di dalam Al Quran terdapat banyak ayat yang memerintahkan kaum Muslim untuk ittiba Nabi  Saw agar hidupnya selamat di dunia dan akhirat (QS. An-Nisa: 59).


“Ittiba’ itu artinya mengikuti Allah dan Rasul-Nya dalam bentuk menjalankan apa yang terdapat dalam Quran maupun Sunah. Ini menjadi sumber hukum yang paling utama dalam Islam. Kalau qiyas, dan lain-lain masih diperselisihkan apakah menjadi sumber hukum atau proses pencarian hukum,” ujar alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah ini, seperti dikutip dari Muhammadiyah.or.id.


3. Taysir (kemudahan). 


Nilai dasar yang ketiga ini merupakan salah satu prinsip penting dalam Islam yang diberikan Allah agar manusia tetap bersemangat dan tekun dalam menjalankan ajaran agama, terutama dalam situasi sulit. Dalam kaidah usul fikih dinyatakan setiap kesulitan, pada dasarnya, menuntut kemudahan (al-masyaqqah tajlib al-taysir).


“Dalam QS. Al Baqarah ayat 185, Allah itu menginginkan kemudahan dan tidak menginginkan kesusahan. Prinsip taisir dalam beragama itu sangat penting karena kalau tidak menggunakan prinsip ini, beragama akan terasa kaku sekali dan berat,” terang pengajar di Madrasah Muallimat Muhammadiyah ini.


4. Maslahat. 


Lawan sepadan dari masalahat adalah mudlarat. Hal tersebut berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan Ahmad menyebut bahwa laa dlirara wa laa dlirara, tidak mudlarat dan memudaratkan. Al-Ghazali dalam kitab Mushtasfa min Ilm al-Usul berpendapat bahwa relasi yang terbangun antara syariat dengan istislah (kemaslahatan) sangat erat sekali. Maslahat menurut al-Ghazali adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.


“Agama itu mendorong untuk mewujudkan kemaslahatan. Maka sebagaimana dalam QS. Al Anbiya ayat 107, Nabi Saw diutus tidak lain untuk membawa rahmat semesta alam. Rahmat itu artinya kemaslahatan baik agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta,” kata pria yang berasal dari Garut, Jawa Barat ini. 


[Muhammadiyah.or.id]

Iklan