JAKARTA -- Muktamar Pemikiran Islam di Muhammadiyah ”Kritik Oto-Kritik Muhammadiyah” pertengahan Februari 2008 menuai kritik konstruktif bagi perjalanan gerakan Muhammadiyah di Indonesia.
Gerakan Muhammadiyah seharusnya lebih peduli terhadap persoalan realitas sosial kini dan nanti, bukan cuma persoalan politik. Menjelang Pemilu 2009, politisi di negeri ini mulai bersahut dan tampak kasak-kusuk ingin merebut posisi empuk. Sementara itu, krisis moral dan kepemimpinan bangsa ini sudah memasuki tahap kritis. Dalam konteks ini, umat Muhammadiyah tak bisa mengabaikan pendidikan karakter bangsa yang kian pudar.
Namun, di tengah hiruk-pikuk politik menjelang Pemilu 2009 adalah suatu hal yang sulit bagi kaum cerdik pandai Muhammadiyah untuk tidak larut dalam intrik politik praktis. Ulama, sebagai penjaga moral bangsa, harus menjadi panutan umatnya. Akan tetapi, kecemasan yang timbul adalah posisi tak etis peran ulama dan intelektual Muhammadiyah dalam perpolitikan nasional, yaitu menghendaki jabatan politik.
Bertrand Russel (1984) pernah menjelaskan, di kalangan politisi orang baik punya kegunaan. Orang baik tak pernah dicurigai bahwa ia akan menggunakan kebaikannya untuk melindungi bajingan. Sifat ini membuat orang baik-baik amat disenangi dan akhirnya orang baik-baik itu ikut pula menjadi politisi.
Namun, suatu sistem ekonomi politik di mana the rulling elite mengalami konservatisasi karena ingin mempertahankan monopolinya pada akses-akses ekonomi dan kekuasaan selalu muncul polarisasi yang merusak solidaritas sosial. Kecenderungan untuk tidak melibatkan agama dalam aneka masalah sosial-politik akan mempercepat timbulnya masyarakat berkelas.
Karena itu, sepatutnya dipikirkan adanya sistem politik lain yang mampu mewakili rakyat jelata demi mengimbangi kecenderungan konservatisme dan egosentrisme kelas elite melalui sarana demokrasi.
Panutan
Menurut Kuntowijoyo (1993:42), Muhammadiyah sebagai kelompok yang selalu mendefinisikan dirinya sebagai entitas non-kelas mempunyai peluang untuk kembali mendefinisikan ideologi sosial dan politiknya berdasar kepentingan rakyat jelata—sebagaimana dicontohkan Sarikat Islam (SI) di masa lalu—dan dirumuskan secara jernih berdasar analisis yang tepat tentang formasi sosial dan sistem ekonomi politik yang ada.
Ini berarti politik agama harus dibumikan pada tingkat obyektif menjadi politik kelas dalam rangka mengakomodasi kepentingan empiris umat dan bangsa. Hanya dengan gerakan agama yang memihak, gerakan sosial Muhammadiyah akan memiliki makna sejati sebagai gerakan untuk pembebasan struktural, seperti dirumuskan Kuntowijoyo terkait tiga misi agama: humanisasi, emansipasi, dan transendensi.
Sebagai panutan moral, kalangan cerdik pandai Muhammadiyah saat terlibat dalam kancah perpolitikan nasional dicemaskan akan lupa kepada rakyat yang masih banyak didera kemiskinan. Ketika hasrat ingin berkuasa dan ingin cepat kaya kian menggoda, politisi cenderung lupa, tetangga yang miskin di kampungnya bingung besok mau makan apa.
Sejatinya, gerakan Muhammadiyah adalah wadah perjuangan umat Islam dalam melaksanakan gerakan dakwah sosial yang memiliki cukup banyak lembaga pendidikan, panti asuhan, rumah sakit, dan lembaga zakat (lazis). Sayang, institusi sosial Muhammadiyah lebih tampak sekadar tempat untuk meraup keuntungan. Di mana letak kaum duafa di mata Muhammadiyah?
Muktamar pemikiran Islam itu diharapkan mengembalikan spirit awal Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan yang berpihak terhadap realitas sosial yang timpang, kemiskinan, dan ketertindasan. Seperti agama, gerakan dakwah Muhammadiyah harus berpihak kepada kaum papa.
Kaum intelektual muda Muhammadiyah diharapkan tak terjebak dalam rasa sudah tahu segala sesuatu, atau kebencian paranoid. Artinya, elite Muhammadiyah dan anggotanya telah mencapai titik di mana mereka tahu perbedaan antara baik-buruk, mampu menjatuhkan pilihan sendiri, memiliki kemampuan sendiri, keyakinan sendiri, yang bukan sekadar pendapat. Sudah saatnya intelektual muda Muhammadiyah bergerak turun ke bawah. Jangan hanya wacana yang melulu mendunia sehingga mengabaikan kaum duafa.
Sumber: Kompas, Jumat, 22 Februari 2008
Penulis: David Krisna Alka, Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah