Iklan

Iklan

,

Iklan

Syamsul Ulum

Hukum Bermain Musik dan Berkesenian Menurut Muhammadiyah

Redaksi
Jumat, 26 April 2024, 12:32 WIB Last Updated 2024-04-26T05:32:13Z


JAKARTA --
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, musik adalah rangkaian nada atau suara yang disusun secara harmonis, mengandung irama, lagu, dan keharmonisan, khususnya yang dilakukan melalui penggunaan alat-alat musik. Nyanyian, sebagai bagian kecil dari musik, mengisi ruang tersendiri dalam ekspresi seni ini.


Namun, polemik seputar musik dan nyanyian tak jarang muncul dalam konteks keagamaan. Beberapa ulama menginterpretasikan larangan terhadap aktivitas bermusik sebagai bagian dari upaya menghindari “percakapan kosong atau sia-sia”, sebagaimana yang tertuang dalam QS. Luqman ayat 6. Namun, pandangan ini tidak sepenuhnya diterima oleh semua kalangan.


Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, misalnya, menilai bahwa larangan tersebut sebenarnya ditujukan pada segala bentuk perkataan yang mengajak kepada kesesatan dan kemaksiatan. Dalam konteks nyanyian, jika teksnya memuat pesan yang mengajak kepada kebaikan, maka tidaklah termasuk dalam larangan tersebut.


Meski demikian, penting untuk memperhatikan bagaimana suatu seni disajikan. Larangan bukan terletak pada nyanyian sebagai bentuk seni itu sendiri, melainkan pada cara penyampaian visual dan isi teks yang membawa kepada kemaksiatan. 


Di tengah kompleksitas pandangan ini, musik tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Berbagai aliran musik telah menjadi kebutuhan dasar bagi manusia, sekaligus sebagai ekspresi dari rasa keindahan yang melekat pada diri manusia. Pemenuhan terhadap rasa keindahan ini pun merupakan suatu kebutuhan yang tak dapat diabaikan.


Dalam konteks ini, musik bukan hanya menjadi hiburan semata, tetapi juga menjadi jendela yang menghadirkan keindahan dan mendalamnya perasaan manusia. Sebagai bagian integral dari kehidupan, musik terus memperkaya pengalaman manusia dan menyatukan mereka dalam ekspresi yang universal dan mendalam.


Kebutuhan akan musik memang bersifat komplementer, yang pemenuhannya mampu menghias hidup manusia yang sudah normal menjadi lebih indah dan lebih mewah. Ini sejalan dengan konsep maslahah tahsiniyah, yaitu kebutuhan yang tidak vital namun berperan dalam meningkatkan kualitas hidup tanpa membahayakan atau menyebabkan kesulitan.


Seni suara sebagai salah satu bentuk ekspresi indah manusia tidak secara inheren bertentangan dengan ajaran agama. Namun, penting untuk memperhatikan konteks dan penyajian seni tersebut. Dalam hal musik, khususnya penggunaan alat-alat bunyian, hukumnya bergantung pada illatnya atau alasan di balik penggunaannya. Terdapat tiga klasifikasi:


1. Apabila musik memberikan dorongan kepada keutamaan dan kebaikan, maka hukumnya disunahkan;

2. Apabila musik hanya bersifat main-main atau hiburan semata tanpa dampak yang signifikan, maka hukumnya biasanya dimakruhkan. Namun, jika musik tersebut mengandung unsur negatif, maka hukumnya menjadi haram;

3. Apabila musik mendorong kepada perbuatan maksiat atau kemaksiatan, maka hukumnya jelas haram.


Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya musik itu diperbolehkan secara kondisional, yang juga berarti bahwa pelarangan terhadapnya juga bersifat kondisional. Artinya, konteks, penyajian, dan dampak musik tersebut menjadi faktor penentu dalam menilai kebolehannya atau keharamannya.


Pandangan Muhammadiyah Tentang Kesenian


Dalam Tanfidz Keputusan Musyawarah Nasional Tarjih ke-27 di Malang pada tahun 2010, Muhammadiyah menyoroti peran Islam dalam kebudayaan dan kesenian. Pada kesempatan tersebut, dijelaskan bahwa Islam adalah agama rahmat yang datang untuk membawa manfaat dan kemaslahatan bagi manusia. Namun demikian, Islam juga hadir untuk menjauhkan manusia dari segala bentuk bahaya dan kerusakan.


Pada intinya, Islam memegang peran penting dalam meluruskan dan membimbing perkembangan kebudayaan dalam masyarakat, sehingga sesuai dengan derajat manusia yang tinggi. Ini mencerminkan komitmen Muhammadiyah dalam mengarahkan kebudayaan menuju kemajuan yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama.


Dalam menilai kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat, Muhammadiyah mengklasifikasikannya menjadi tiga kategori utama. Klasifikasi ini menjadi pedoman dalam memahami dan mengarahkan perkembangan kebudayaan:


Pertama, Muhammadiyah menegaskan bahwa kebudayaan yang diakui oleh syariat adalah semua kebudayaan dan hasil karya manusia yang tidak bertentangan dengan nas-nas Al-Qur’an dan Hadits. Kebudayaan tersebut diterima, diakui, dan bahkan terkadang bisa dijadikan sumber hukum. Dalam kaidah fiqhiyah, disebutkan bahwa “Adat istiadat itu bisa dijadikan sebagai sumber hukum”. Namun, adat yang bisa dijadikan sumber hukum adalah yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

 

Kedua, Muhammadiyah juga mengakui adanya kebudayaan yang pada awalnya bertentangan dengan syariat, namun kemudian diperbaiki sehingga sesuai dengan ajaran Islam. Contohnya adalah syair-syair yang dilantunkan oleh orang-orang jahiliyah dahulu yang mungkin mengandung unsur-unsur kemusyrikan atau kesalahan lainnya. Ketika Islam datang, melantunkan syair tetap dibenarkan, namun tentu saja syair tersebut tidak boleh mengandung hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama, seperti kemusyrikan, bid’ah, atau hal-hal yang membantu kezaliman.


Ketiga, Muhammadiyah juga mengakui keberadaan kebudayaan yang secara nyata bertentangan dengan syariat Islam. Ini mencakup semua hasil karya manusia yang menyalahi nas-nas Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau mengandung unsur-unsur kemusyrikan, bid’ah, khurafat, takhayul, kedzaliman, dan hal-hal negatif lainnya.


Ditinjau dari segi asas umum ajaran agama, Muhammadiyah menyatakan bahwa nyanyi dan musik termasuk dalam kategori mu’amalah duniawiyah. Sebagaimana disebutkan dalam kaidah fiqhiyah, “Pada asasnya segala sesuatu itu adalah mubah (diperbolehkan) sampai terdapat dalil yang melarang.”


Dengan mengklasifikasikan kebudayaan dalam tiga kategori ini, Muhammadiyah memberikan pedoman yang jelas dalam memahami dan menilai keberadaan kebudayaan dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan tujuan Muhammadiyah untuk memandu umat dalam mengembangkan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam, serta menghindari yang bertentangan dengan nilai-nilai agama demi kemajuan yang sesuai dengan martabat manusia.***


Referensi:

- Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama jilid V, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2013.

- Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama jilid II, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2004.

- Majalah Suara Muhammadiyah Edisi 9 tahun 2018.

Iklan