Iklan

Iklan

,

Iklan

Syamsul Ulum

Inilah Langkah Menciptakan Lingkungan Sekolah Tanpa Kekerasan dari Dosen UMJ

Redaksi
Minggu, 14 April 2024, 14:17 WIB Last Updated 2024-04-14T07:17:11Z


JAKARTA --
Belakangan ini kasus bullying semakin marak terjadi di Indonesia, khususnya di lingkungan sekolah. Tentu saja tindakan itu tidak semestinya terjadi di tempat anak-anak sedang menuntut ilmu.


Menanggapi hal tersebut, dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jakarta (FIP UMJ), Dr. Sri Immawati, M.Pd., memaparkan beberapa faktor penyebab terjadinya bullying dan upaya strategi pencegahannya.


Menurut Sri, bullying berhubungan erat dengan tawuran. Bullying adalah definisi tindak kekerasan di sekolah yang memiliki beberapa macam jenis, di antaranya berupa kekerasan fisik, psikis, ekonomi, status sosial, dan lain sebagainya. 


“Itu merupakan bagian dari tawuran, artinya anak-anak yang tawuran umumnya melakukan bullying,” jelas Sri.


Sri menilai, faktor utama penyebab seseorang melakukan bullying berasal dari lingkungan keluarga. Kondisi keluarga yang tidak harmonis atau broken home, kurangnya perhatian seorang anak dari keluarga terdekat, dan pendidikan yang kurang tepat bagi anak sehingga menyebabkan pembentukan perilaku yang kurang baik.


Faktor kedua adalah adanya pengaruh dari senior yang berada di lingkungan sekolah. 


Secara umum, seorang siswa dapat melakukan kekerasan karena dipengaruhi oleh lingkungan teman sebayanya yang juga melakukan hal serupa. 


“Selain itu, adanya sikap senioritas yang berada di lingkungan sekolah juga mendorong terjadinya tindak kekerasan atau bullying, di mana yang menjadi korbannya adalah junior yang lemah." Tegasnya.


Faktor ketiga adalah kesadaran diri dari pelaku bullying untuk melakukan tindak kekerasan. 

“Ada kasus di mana siswa memang sudah mencari sekolah yang melakukan tawuran. Sebelum memasuki sekolah, biasanya siswa sudah melakukan analisis terhadap beberapa sekolah, sehingga tujuan utamanya bukan hanya belajar tetapi juga untuk melakukan tawuran dan menjadi bagian dari komunitas tersebut,” kata Sri.

Lalu, bagaimana langkah yang tepat untuk mencegah terjadinya bullying atau kekerasan di lingkungan sekolah?


Berbicara mencegah, berarti harus mengobati. Berdasarkan realita yang terjadi di lapangan, hampir setiap hari tawuran terjadi di kalangan pelajar. Secara umum orang tidak mengindahkan hal tersebut dan menganggap tawuran adalah masa lalu. Padahal, sampai saat ini masih terjadi.


Orang tua sebagai tempat pendidikan pertama bagi anak, tentunya harus paham bagaimana cara mendidik anak dengan baik dan benar. Selain itu, penting bagi orang tua untuk mengetahui latar belakang lingkungan sekolah dan pergaulan seorang anak. Bullying adalah kasus yang unik, diperlukan kerja sama antara semua elemen, seperti orang tua, guru, dan masyarakat untuk mengatasi terjadinya bullying.


Ada beberapa strategi menciptakan sekolah yang aman dan nyaman tanpa kekerasan.


Pertama, menyediakan sarana dan pra sarana yang memadai di lingkungan sekolah. Sarana dan prasarana dapat mendukung terjadinya proses pembelajaran yang efektif dan menyenangkan bagi siswa. Di antara sarana dan prasarana seperti Unit Kesehatan Sekolah (UKS), taman bermain, dan perpustakaan.


Merujuk pernyataan Taufik Ismail yang berbunyi “Kenakalan remaja dipicu karena mereka tidak sibuk”.  


Sri menerangkan bahwa itu maksudnya sibuk berliterasi. Maka, penting untuk sekolah dapat memberikan ruang-ruang pojok literasi untuk siswa. Hal tersebut juga didorong dengan peran seorang guru untuk bisa menumbuhkan minat membaca pada siswa.


Strategi selanjutnya yaitu teknologi yang mendukung, penguatan karakter, ekstrakurikuler, dan kepedulian orang tua. Selain guru dan teman di lingkungan sekolah, orang tua memiliki peran paling penting, terutama dalam menjaga komunikasi antara sekolah dan orang tua.


Guru sebagai tenaga pendidik di sekolah juga memiliki peran penting terutama dalam menciptakan pembelajaran yang efektif dan menyenangkan. Seorang guru tidak bisa memaksakan seorang siswa untuk merasa senang ketika guru itu sendiri tidak bisa menciptakan kenyamanan. 


Guru harus menganggap siswa sebagai subjek, sehingga bisa terjalin kerja sama antar guru dan siswa. Selain itu, guru dapat menerapkan strategi pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa.***(umj.ac.id)

Iklan