Iklan

Iklan

,

Iklan

Ladang Bisnis, Inilah Ketentuan Badal Haji Menurut Muhammadiyah

Redaksi
Rabu, 08 Mei 2024, 13:41 WIB Last Updated 2024-05-08T06:41:51Z


JAKARTA --
Haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan bagi yang mampu secara fisik, finansial, dan dapat dipastikan keselamatannya dalam perjalanan. Namun, realitas sosial dan ekonomi seringkali membuat banyak umat Islam tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Di sinilah praktek badal haji menjadi daya tarik.


Badal haji memungkinkan seseorang yang tidak mampu secara fisik atau finansial untuk menjalankan ibadah haji, dengan menyerahkan kewajibannya kepada orang lain yang bersedia melaksanakan haji atas namanya. Namun, di balik kebaikan yang mendasari praktek ini, muncul pula isu terkait keabsahan secara syariah dan moralitasnya.


Penting bagi umat Islam untuk memahami secara mendalam aturan dan tata cara badal haji serta menghindari penyalahgunaan dan eksploitasi atas praktek tersebut. Kesucian ibadah haji, baik secara fisik maupun spiritual, harus tetap dijaga dengan sungguh-sungguh.


Ketentuan Badal Haji


Badal haji, sementara menjadi jawaban atas kendala fisik dan finansial yang menghalangi sebagian umat Islam dalam menunaikan ibadah haji, menimbulkan pertanyaan serius terkait dengan keabsahan syariah. Diskusi mengenai badal haji terutama menyoroti beberapa ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi yang menggarisbawahi prinsip bahwa seseorang hanya akan memperoleh pahala dari usahanya sendiri.


Dalam Al-Qur’an, ayat-ayat seperti QS an-Najm (53): 38-39 dan QS. Yasin (36): 54, menegaskan prinsip bahwa setiap individu akan memikul konsekuensi dari perbuatannya sendiri, tanpa dibebani oleh dosa atau pahala orang lain. Ini menjadi landasan bagi beberapa ulama yang memandang bahwa badal haji bertentangan dengan prinsip ini.


Namun, di sisi lain, hadis-hadis Nabi saw memberikan pengecualian terhadap prinsip ini. Hadis riwayat Muslim dan al-Bukhari menyatakan bahwa seseorang dapat memperoleh pahala dari perbuatan baik yang dilakukan oleh orang lain atas nama mereka, seperti anak yang mendoakan kedua orang tuanya atau seseorang yang melunasi hutang orang lain kepada Allah.


Pandangan ulama tentang badal haji sangatlah bervariasi. Sebagian menganggap bahwa hadis-hadis yang bersifat mendukung badal haji bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat mutlak, dan oleh karena itu, badal haji tidak dapat dijalankan. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa hadis-hadis tersebut dapat mengkhususkan ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga badal haji tetap dapat dilakukan.


Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif terhadap hadis-hadis dalam konteks badal haji. Mereka memandang bahwa hadis-hadis ahad dapat mengkhususkan (takhsis) atau menjelaskan (bayan) ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga mengubah pemahaman terhadap prinsip bahwa seseorang hanya akan memperoleh pahala dari usahanya sendiri.


Pandangan Majelis Tarjih ini didasarkan pada hadis riwayat Imam Muslim yang menyatakan bahwa amal baik yang dilakukan atas nama seseorang, seperti doa anak yang saleh untuk kedua orang tuanya, adalah pengecualian dari prinsip bahwa amal seseorang terputus setelah meninggal dunia. 


Dalam konteks ini, hadis tersebut dianggap sebagai penjelas atau pengecualian terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum.


Sebagai hasilnya, Majelis Tarjih menyimpulkan bahwa badal haji dapat diterapkan bagi seseorang yang telah memenuhi kewajiban haji namun tidak dapat melaksanakannya karena alasan fisik atau alasan lainnya, atau bahkan bagi yang telah meninggal dunia. 


Dalam kasus seperti ini, anak atau saudara yang telah melaksanakan haji dapat menjalankan ibadah haji atas nama mereka.


Dengan demikian, penting untuk dicatat bahwa badal haji tidak bisa semata-mata diwakilkan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan orang yang mewakilinya. 


Badal haji seharusnya hanya dilakukan oleh anak atau saudara yang telah melaksanakan ibadah haji sendiri. Dalam menangani badal haji, integritas moral dan ketulusan niat harus menjadi pijakan utama, menjaga kesucian dan keaslian ibadah mulia ini.***


Sumber: Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, “Hukum Badal Haji”, dalam Fatwa Tarjih web, https://fatwatarjih.or.id/hukum-badal-haji/, diakses pada Rabu, 08 Mei 2024. Tanya Jawab Agama, Majalah Suara Muhammadiyah No. 20 tahun 2011.

Iklan