![]() |
Oleh: Nashrul Mu’minin, Content Writer Yogyakarta
JAKARTA, Muhammadiyah Good News || Perubahan iklim hari ini bukan lagi sekadar wacana abstrak yang dibicarakan di meja perundingan internasional.
Data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat bahwa 98 persen bencana di Indonesia sepanjang 2024 berasal dari faktor hidrometeorologi, mulai dari banjir, tanah longsor, hingga kekeringan (BMKG, Januari 2025).
Angka tersebut memperlihatkan betapa kerentanan lingkungan berhubungan langsung dengan kualitas hidup masyarakat. Terutama petani dan kelompok rentan.
Oleh karena itu, Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Perubahan Iklim (PPI) menjadi penting sebagai kerangka hukum agar negara memiliki peta jalan yang konsisten, bukan sekadar reaktif dalam menghadapi krisis.
Dukungan Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah agar RUU PPI masuk dalam Prolegnas prioritas 2026 menandai bahwa isu iklim tidak lagi dianggap “eksternal” dari misi keagamaan.
Muhammadiyah menegaskan bahwa krisis iklim adalah masalah kemanusiaan yang menuntut dasar moral dan tanggung jawab kolektif.
Dengan populasi lebih dari 30 juta anggota dan simpatisan, Muhammadiyah memiliki posisi strategis untuk mendorong kesadaran publik sekaligus memberikan legitimasi sosial terhadap kebijakan negara (Republika, September 2025).
Namun, dukungan tersebut juga menyingkap tantangan komunikasi politik pemerintah. Pernyataan kontroversial beberapa menteri baru hasil reshuffle kabinet justru memperlihatkan lemahnya sensitivitas terhadap opini publik.
Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mengingatkan bahwa pemerintah seharusnya segera menampilkan “quick wins” agar publik percaya bahwa kebijakan membawa manfaat nyata (UMY, September 2025). Kritik ini bukan hanya soal etika berbicara, melainkan soal akuntabilitas publik.
Dalam kerangka ini, Muhammadiyah tidak hanya berperan sebagai organisasi dakwah, tetapi sebagai aktor advokasi kebijakan publik.
Survei LP3ES menunjukkan bahwa 61 persen masyarakat Indonesia masih mempercayai organisasi keagamaan lebih tinggi daripada lembaga negara dalam hal integritas moral (LP3ES, Mei 2024).
Artinya, suara Muhammadiyah dapat memperkuat legitimasi sebuah regulasi, selama diarahkan pada tujuan publik yang jelas dan berpihak pada kemaslahatan.
Menjelang Muktamar ke-49 Muhammadiyah, muncul pula isu seputar pola keagamaan generasi muda dan keterkaitan organisasi dengan konflik internasional.
Data LSI pada Agustus 2024 menunjukkan bahwa 52 persen generasi muda Muhammadiyah aktif di media sosial dan cenderung kritis terhadap wacana global, mulai dari Palestina hingga perubahan iklim.
Hal ini menunjukkan bahwa arah dakwah Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dari tuntutan generasi muda yang lebih kosmopolit, progresif, sekaligus kritis.
Menurut saya, integrasi isu iklim ke dalam agenda Muhammadiyah akan menjadi titik balik yang penting. Selama ini, banyak organisasi keagamaan cenderung fokus pada aspek ritual dan pendidikan, tetapi belum cukup serius mengarusutamakan isu lingkungan.
Padahal, krisis iklim berpotensi memperparah kemiskinan, ketimpangan, bahkan konflik sosial. Dengan membawa isu ini ke ruang publik, Muhammadiyah bukan hanya menjaga relevansinya, melainkan memperlihatkan bahwa agama hadir untuk menjawab problem nyata masyarakat.
Baca Juga: Tak Cukup Hanya Teori, Dadang Kahmad Dorong Lulusan Kampus Muhammadiyah Harus Kreatif dan Punya Inovasi
Dukungan terhadap UU PPI pun seharusnya tidak berhenti pada deklarasi politik, tetapi dilanjutkan dengan advokasi, riset, dan langkah nyata di lapangan.
Misalnya, menjadikan sekolah dan pesantren Muhammadiyah sebagai pusat pendidikan hijau atau mengembangkan amal usaha kesehatan sebagai pionir rumah sakit ramah lingkungan. Dengan langkah konkret ini, Muhammadiyah bisa tampil sebagai pionir yang menghubungkan iman, ilmu, dan kebijakan publik.
Simpulannya, dukungan Muhammadiyah terhadap RUU PPI adalah simbol bahwa perubahan iklim bukan sekadar isu teknokratik, melainkan isu moral dan spiritual.
Jika organisasi sebesar Muhammadiyah mampu mengintegrasikan narasi agama dengan advokasi kebijakan, arah baru gerakan publik akan terbuka: dari moral ke kebijakan dan dari mimbar ke undang-undang.
Menurut saya, inilah warisan penting yang harus dibangun untuk generasi mendatang.
*Content Writer Yogyakarta