![]() |
JAKARTA, Muhammadiyah Good News || Dalam tulisan kolomnya di Kompas edisi Jumat (24/10/2025) berjudul Pembelajaran dengan AI, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ahmad Najib Burhani, mengurai pandangan menarik tentang ragam cara masyarakat merespons kehadiran kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
Pandangan ini juga pernah ia sampaikan dalam SiberMu National Seminar on Business, Technology, and Health (SINABTECH) 2025 yang digelar Kamis (16/10) di Ballroom SMTORIUM, SM Tower Malioboro, Yogyakarta. Dalam forum tersebut, Najib menjelaskan bahwa masyarakat dunia kini terbelah dalam empat kelompok besar dalam menyikapi fenomena AI.
“Bila melihat respons masyarakat terhadap akal imitasi (AI), tampak ada kelompok yang bisa disebut sebagai AI pessimists,” tulis Najib. “Mereka melihat AI secara negatif dan merasa khawatir keberadaan AI akan menggantikan peran manusia atau bahkan menjadi akhir dari peradaban.”
Selain itu, lanjutnya, ada kelompok yang disebut skeptical adopters. Mereka, menurut Najib, “meragukan berbagai klaim terkait dampak positif dari AI bagi manusia dan cenderung sangat hati-hati dalam penggunaannya.”
Kelompok ketiga adalah pragmatic users, yaitu mereka yang “tak terlalu peduli dengan berbagai wacana teoretis dan isu terkait masa depan manusia.” Bagi mereka, AI hanyalah alat bantu untuk “meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan mengatasi persoalan kerja saat ini.”
Terakhir, Najib menyebut adanya kelompok AI enthusiasts, yakni mereka “yang melihat potensi AI sebagai alat yang bisa mentransformasikan dunia ke arah lebih baik.” Golongan ini memandang AI sebagai simbol kemajuan dan inovasi yang membuka peluang besar bagi masa depan umat manusia.
Najib menjelaskan bahwa tiga model pertama—skeptical adopters, pragmatic users, dan AI enthusiasts—merupakan potongan dari materi yang disampaikan Patrick Moyle dan Becah Buselle dalam sesi “The Future of Writing Instruction: Navigating AI’s Impact” pada International Society for Technology in Education (ISTE) Conference, San Antonio, Texas, Amerika Serikat, 30 Juni 2025.
“Saya menambahkan satu model lain yang melengkapi, yaitu AI pessimists,” tulis Najib.
Melalui empat kategori tersebut, Najib kemudian mengaitkan observasinya dengan konsep pembelajaran transformatif (transformative learning). Ia menekankan bahwa kehadiran AI menuntut dunia pendidikan untuk tidak hanya menguasai teknologi, tetapi juga mengubah cara berpikir dan belajar.
“Pada intinya, pembelajaran transformatif merupakan upaya untuk mengubah cara pandang (mindset) siswa,” tulisnya. Perubahan itu, lanjut Najib, dilakukan dengan melibatkan tiga hal: refleksi kritis (critical reflection), pendekatan pengajaran yang holistik dan membebaskan (holistic approach), serta hubungan guru-murid (relationships).
Tulisan Najib Burhani ini mengajak masyarakat, khususnya kalangan pendidik dan pegiat teknologi, untuk merefleksikan posisinya dalam menyikapi AI.
Apakah kita termasuk yang pesimis, skeptis, pragmatis, atau justru antusias? Karena dari cara kita memandang AI, di situlah cermin kesiapan kita menghadapi masa depan pembelajaran dan kemanusiaan itu sendiri.*** (MHMD)



