Iklan

Iklan

,

Iklan

Soal Tools Canggih AI Tanpa Fikih Informasi, Bisa Jadi Fitnah

Redaksi
Kamis, 23 Oktober 2025, 17:02 WIB Last Updated 2025-10-24T00:03:33Z


YOGYAKARTA, Muhammadiyah Good News ||
Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Semarang, Kasmui, mengingatkan umat Islam agar tidak silau terhadap kemajuan Akal Imitasi (AI) tanpa memahami potensi bahayanya.


Dalam Pengajian Tarjih yang digelar pada Rabu (22/10/2025), dosen IT sekaligus praktisi AI ini menegaskan bahwa AI bukan hanya membawa kemanfaatan besar, tetapi juga mengandung sisi buruk yang sangat berbahaya bagi moral, privasi, dan keamanan informasi manusia


“AI ini seperti mata pisau, bisa memudahkan kita memotong daging atau buah, tapi juga bisa memotong leher, tangan, atau kaki dengan mudah,” ungkapnya, menggambarkan bagaimana AI dapat menjadi alat yang sangat bermanfaat, namun juga berbahaya jika tidak dikendalikan.


Menurut Kasmui, AI memiliki kemampuan luar biasa, seperti menghasilkan konten realistis yang dikenal sebagai deepfake. Ia mencontohkan bagaimana teknologi ini mampu memalsukan wajah tokoh dunia, seperti presiden Korea Utara, Rusia, atau Amerika, dengan suara yang berbicara dalam bahasa Indonesia secara meyakinkan.


“Masya Allah, ini luar biasa, tapi juga sangat berbahaya karena bisa menipu dan menimbulkan disinformasi,” tegasnya.


Fikih Informasi sebagai Panduan


Sebagai respons terhadap potensi bahaya AI, Kasmui menekankan pentingnya fikih informasi sebagai pedoman moral dalam penggunaan teknologi. Ia menyebutkan bahwa Muhammadiyah, melalui Majelis Pustaka dan Informasi, memiliki peran strategis dalam menerapkan prinsip amar makruf nahi mungkar untuk menghadapi tantangan digital.


Fikih informasi, menurutnya, berakar pada nilai-nilai Al-Qur’an, seperti perintah tabayyun (klarifikasi) dalam surah Al-Hujurat ayat 6, yang mengajarkan umat Islam untuk memverifikasi kebenaran informasi sebelum mempercayainya.


“Fikih informasi adalah kompas kita untuk berjalan dengan benar, menjaga keseimbangan antara keterbukaan dan privasi, serta mencegah pelanggaran seperti tajasus (mencari-cari kesalahan orang lain) dan ghibah (menggunjing),” jelas Kasmui.


Ia juga mengingatkan bahwa AI dapat digunakan untuk mendukung pendidikan dan dakwah, seperti mengintegrasikan buku digital dengan AI agar dapat “berbicara” dan menjawab pertanyaan, sehingga mempermudah pembelajaran.


Kasmui juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap pelanggaran privasi yang marak terjadi di Indonesia, seperti kebocoran data pribadi, doxing, dan deepfake yang menimpa tokoh masyarakat, termasuk kasus viral di Semarang baru-baru ini yang melibatkan alumni sebuah sekolah negeri.


Ia menyinggung pula kasus kebocoran data besar seperti di Bank Syariah Indonesia (BSI) pada Mei 2023, serta peretasan data KPU yang menunjukkan lemahnya perlindungan data di Indonesia.


“Pelanggaran privasi ini bukan hanya soal data, tapi juga kehormatan. Istri, anak, dan keluarga kita bisa jadi korban. Nauzubillah min dzalik,” ujarnya dengan nada prihatin.


Ia juga memperingatkan tentang bahaya pengawasan massal (surveillance capitalism) oleh platform seperti Facebook, Google, dan TikTok, yang merekam perilaku pengguna hingga lokasi secara real-time tanpa sepengetahuan mereka.


Pemanfaatan AI untuk Kebaikan


Meski penuh risiko, Kasmui mendorong umat Islam, khususnya warga Muhammadiyah, untuk tidak alergi terhadap AI. Ia mencontohkan bagaimana dirinya mengintegrasikan AI, seperti Gemini, dalam pengajaran dan pengembangan website untuk mempermudah akses informasi.


“Saya sudah tinggalkan PowerPoint, sekarang pakai website yang terhubung dengan AI, sehingga jemaah bisa mengakses, mencermati, bahkan mengkritisi materi secara langsung,” ungkapnya.


Kasmui juga berbagi pengalaman membuat aplikasi berbasis AI yang dapat memantau aktivitas pengguna, namun ia memilih untuk tidak menyalahgunakannya karena kesadaran agamanya.


“Saya bisa membuat aplikasi yang mengaktifkan kamera HP orang lain tanpa sepengetahuannya, tapi saya berhenti karena takut dosa,” katanya, seraya mengingatkan bahwa teknologi harus digunakan dengan tanggung jawab moral.


Menutup pemaparannya, Kasmui menegaskan bahwa Muhammadiyah memiliki tanggung jawab besar untuk mengendalikan dampak AI melalui pendekatan fikih informasi. Ia mengajak jemaah untuk memahami regulasi yang ada, seperti Undang-Undang ITE dan Perlindungan Data Pribadi (PDP), serta fatwa MUI tentang muamalah di media sosial.


Namun, ia menyayangkan bahwa penegakan hukum sering kali “tajam ke bawah, tumpul ke atas,” sehingga diperlukan advokasi yang kuat dari level individu hingga pemerintah.


“Muhammadiyah harus menjadi pelopor dalam amar makruf nahi mungkar di era digital ini. Mimbar dakwah kita bukan lagi hanya di masjid, tapi juga di laboratorium super komputer,” pungkas Kasmui, menggarisbawahi pentingnya literasi digital dan kesadaran syariat dalam menghadapi tantangan AI.


Kasmui menambahkan bahwa Majelis Tabligh dan Majelis Tarjih memiliki peran saling melengkapi: yang satu memperkuat syariatnya, yang lain menyebarkan nilai-nilainya ke masyarakat. AI memang alat yang canggih, tapi tanpa fikih, alat ini bisa jadi fitnah. 


AI dalam Bingkai Fikih Informasi


Saat ini manusia mulai menyadari bahwa dirinya bukan lagi satu-satunya makhluk yang berpikir. Kecerdasan yang diciptakannya sendiri mulai mempelajari setiap kebiasaan kita di dunia digital. Mesin itu tak punya wajah, tapi tahu banyak hal tentang wajah manusia.


Kita hidup di masa ketika batas antara pencipta dan ciptaan mulai kabur. Di masa ketika algoritma bisa menulis puisi, memberi nasihat, bahkan menebak isi hati. Sebagian orang menyambutnya dengan takjub, sebagian lain dengan cemas.


Namun di antara keduanya, mungkin yang paling bijak adalah apa yang harus kita lakukan terhadap kecerdasan buatan ini agar kita tidak kehilangan kemanusiaan kita sendiri?


Melalui Fikih Informasi, Muhammadiyah telah menyiapkan arah moral untuk zaman ini, bahkan sebelum fenomena kecerdasan buatan meledak. Dokumen tersebut lahir dari Musyawarah Nasional XXX Tarjih di Makassar tahun 2018 dan kemudian ditanfidzkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 2025. Keputusan ini kini berlaku sebagai panduan resmi bagi seluruh warga Muhammadiyah.


Meskipun Fikih Informasi belum secara eksplisit membahas AI, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tetap relevan. Prinsip-prinsip itu diturunkan dari sumber ajaran Islam yang menuntun umat menghadapi perubahan bentuk pengetahuan apa pun.


Segalanya berawal dari Ketauhidan. Fikih Informasi menegaskan bahwa pengetahuan, kekuasaan, dan teknologi adalah amanah. Kecerdasan manusia tidak pernah mutlak, dan ciptaan manusia tidak pernah menjadi tuhan baru. Sebagaimana firman Allah:


يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ


“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit dalam dada, serta petunjuk dan rahmat bagi orang-orang beriman.” (QS Yūnus [10]: 57)


Ayat ini mengingatkan bahwa semua pengetahuan sejati bersumber dari Tuhan. Maka setiap kemajuan yang lahir dari akal harus mengembalikan manusia kepada nilai pengabdian, bukan kepada kesombongan.


Dari kesadaran ketuhanan itu tumbuh Akhlak Mulia. Dalam pandangan Islam, akhlak bukan perhiasan sosial, melainkan fondasi eksistensial. Teknologi akan meniru apa yang manusia tanamkan di dalamnya.


Jika manusia memberi nilai kebajikan, teknologi akan menebarkan manfaat. Jika manusia menanamkan kebohongan, teknologi akan melipatgandakannya. Sebagaimana pesan Allah kepada orang beriman:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ


“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan jadilah bersama orang-orang yang jujur.” (QS al-Tawbah [9]: 119)


Kejujuran adalah inti dari akhlak. Karena itu, setiap pertemuan manusia dengan mesin pada dasarnya adalah pertemuan dengan cermin jiwanya sendiri. Apa yang muncul dari layar berasal dari nilai-nilai yang ia tanamkan di dalamnya.


Dari akhlak lahirlah kesadaran akan Keadilan. Dunia digital sering menyembunyikan ketimpangan di balik angka dan logika. Keputusan algoritmik dapat memperluas kezaliman tanpa wajah.


Karena itu, manusia perlu berjaga agar teknologi tidak menjadi perpanjangan dari hawa nafsu dan prasangka. Setiap penggunaan kecerdasan buatan harus diarahkan untuk menegakkan keseimbangan dan menjaga martabat semua orang. Al-Qur’an menegaskan:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ


“Wahai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya, sehingga kamu menyesal atas perbuatanmu.” (QS al-Ḥujurāt [49]: 6)


Keadilan dalam informasi berarti kehati-hatian. Ayat ini menjadi prinsip etis agar manusia tidak tergelincir dalam keputusan digital yang menyesatkan dan menimbulkan penyesalan.


Lalu mengalir Amanah. Dunia informasi dibangun di atas kepercayaan. Mengunggah data, memberi izin akses, atau menyetujui syarat digital berarti menyerahkan sebagian diri. Amanah menuntut kehati-hatian agar apa yang dibagikan tidak berubah menjadi senjata yang melukai. Menjaga data berarti menjaga kehormatan manusia. Sebagaimana firman Allah:


إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا


“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS al-Nisā’ [4]: 58)


Ayat ini menegaskan bahwa amanah tidak berhenti pada lisan, tetapi juga mencakup seluruh bentuk kepercayaan yang dipercayakan, termasuk informasi.


Fikih Informasi mengingatkan satu kaidah besar: lā ḍarara wa lā ḍirār — jangan menciptakan bahaya dan jangan saling mencelakakan. Etika berhadapan dengan kecerdasan buatan menuntut keberanian untuk menahan diri.


Banyak hal bisa dilakukan dengan teknologi, tetapi tidak semuanya pantas dilakukan. Membuat gambar palsu, menyebarkan kebohongan, atau memanipulasi suara orang lain hanyalah bentuk baru dari kezaliman.


Di tengah arus data yang deras, Fikih Informasi menumbuhkan semangat Tabayyun, kewaspadaan intelektual yang menjaga manusia agar tidak larut dalam derasnya arus informasi. Kecerdasan buatan mampu menjawab dengan cepat, tetapi tidak memiliki hati nurani. Al-Qur’an mengingatkan:


هَٰذَا بَيَانٌ لِّلنَّاسِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةٌ لِّلْمُتَّقِينَ


“(Al-Qur’an) ini adalah penjelasan bagi manusia, petunjuk, dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Āli ‘Imrān [3]: 138)


Ayat ini menjadi panggilan agar manusia tetap berpikir jernih, menimbang dengan hati yang tak dikuasai kecepatan informasi. Tabayyun adalah bentuk ibadah intelektual yang menjaga akal agar tidak diperdaya oleh ilusi pengetahuan.


Dan akhirnya, setiap tindakan menuntut Mas’uliyyah, tanggung jawab di hadapan Tuhan. Kecerdasan buatan dapat membantu membuat keputusan, tetapi tanggung jawab atas akibatnya tetap berada di tangan manusia. Tidak ada tempat bersembunyi di balik algoritma. Setiap hasil dan dampak akan tetap ditanyakan kepada manusia yang menggerakkannya.


Rasulullah bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Tanggung jawab adalah garis akhir yang memisahkan manusia dari ciptaannya. Mesin bisa berpikir, tetapi tidak bisa menyesal. Mesin bisa memutuskan, tetapi tidak bisa berdoa. Di situlah letak kemanusiaan yang sesungguhnya.


Teknologi akan terus bertambah cerdas, mungkin lebih cepat dan lebih teratur. Namun kecerdasan bukan puncak kemanusiaan. Ada wilayah yang tak akan pernah dimasuki mesin, yaitu kemampuan untuk menyesal, berdoa, dan memaafkan. Itulah ruang-ruang spiritual yang menjaga manusia agar tetap menjadi manusia.


Referensi: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Fikih Informasi”, dalam Berita Resmi Muhammadiyah Nomor 05/2022-2027/Zulkaidah 1446 H/Mei 2025 M, Yogyakarta: Gramasurya, 2025.

Iklan